RSS

Makalah Pengantar Studi Islam (Isu-Isu Kontemporer dalam Islam)


MAKALAH
ISU-ISU KONTEMPORER DALAM ISLAM

Dipresentasikan dalam Mata Kuliah
Pengantar Studi Islam
yang diampu oleh: M. Rikza Chamami, MSI



Disusun oleh:
1.      Nur Khanifatun Ni’mah              (123911083)
2.      Romdonah                                   (123911097)
3.      Zunia Ervin Siana                        (123911118)
4.      Fauzia Azmatussulkha                 (123911121)

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013


     I.          PENDAHULUAN
Perkembangan islam di Indonesia memiliki mata rantai yang cukup berliku. Sementara islam di nusantara ini memiliki kompleksitas persoalan, dan dari sini islam hadir dengan membawa wajah tatanan baru dalam masyarakat yang tidak terbentur dengan realitas sosial, budaya, tatanan politik dan tradisi keagamaan.
Dalam perkembangannya upaya reaktualisasi diharapkan dapat menjawab problematika kemasyarakatan dan sebagai manifestasi agama yang rahmatan lil ‘alamin. Islam dinamis yanng diharapkan mampu mengatasi masalah-masalah kontemporer  yang terjadi diberbagai wilayah Indonesia, semisal terorisme, liberalisme, pluralisme, dan gender, yang akan dibahas dalam makalah ini.

  II.          RUMUSAN MASALAH
A.    Apa itu Islam Liberal?
B.     Apa pengertian Islam dan Terorisme?
C.     Apa itu Islam dan Pluralisme Beragama?
D.    Apa pengertian Islam dan Kesetaraan Gender?

III.          PEMBAHASAN
A.      Islam Liberal
Setelah melalui sebuah pergulatan panjang selama satu dasawarsa, sejak tahun 1980-an, pemikiran dan aksi Islam Indonesia tampak sekali mengalami perubahan yang signifikan ini sekurang-kurangnya ditandai dengan tiga hal.[1]
Pertama, format pemikiran era 1990-an jauh berbeda dengan corak pemikiran Islam era 1960-an sebagai gelombang awal pergulatan pemikiran Islam Indonesia. Pemikiran Islam era 1990-an merupakan kelanjutan dari corak pemikiran Islam tahun 1970 dan 1980-an dengan aktor-aktor baru yang muncul di pentas nasional, seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendy, Ahmad Wahib, Kuntowijoyo, Moeslim Abdurrahman, Amien Rais, Jalaludin Rakhmad, Dawam Rahardjo, dan Munawir Sjadzali. Sementara pada era 1990-an, muncul aktor-aktor baru, seperti Mansour Fakih, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer, Quraish Shihab, Amin Abdullah, dan Budi Munawar Rachman.
Tahun 1990-an merupakan era di mana rezim Soeharto telah mulai menampakkan tanda-tanda penerimaannya terhadap Islam. Di era ini negara sangat akomodatif terhadap Islam sehingga pemikiran dan aksi Islam Indonesia juga cenderung akomodatif. Sekalipun masih ada kelompok Islam yang konfrontatif, namun hal itu bukanlah ditujukan pada negara secara langsung, tetapi lebih pada pemikiran umat Islam sendiri, terutama dalam hal strategi perjuangan dan diskursus yang dikembangkan. Ini sangat berbeda pada era tahun 1970-an dan 1980-an, dimana artikulasi politik dan corak pemikiran Islam Indonesia cenderung konfrontatif terhadap rezim kekuasaan.
Kedua, perubahan sikap rezim kekuasaan terhadap Islam telah mendukung perkembangan pemikiran Islam era 1990-an. Corak pemikiran Islam pada era ini sejatinya mempunyai kecenderungan menjembatani ketegangan konseptual antara gagasan-gagasan keislaman dengan ide-ide politik dan kenegaraan 1980-an di bawah rezim Orde Baru. Kondisi tidak produktif inilah yang membuat para aktor pemikir islam era 1990-an mencoba menawarkan “jalan tengah” agar trauma politik dan pengalaman pahit di bawah rezim Orde Baru tidak terulang. “Jalan tengah” yang disodorkan adalah menawarkan pemikiran-pemikiran  aktual yang lebih substansif yang diharapkan bisa mendukung perkembangan serta kemajuan umat Islam.
Ketiga, pada tahun 1990-an telah muncul generasi baru pemikiran Islam Indonesia, dengan nuansa yang lebih terbuka dan memunculkan apa yang disebut mazhab baru pemikiran Islam Indonesia, yakni mazhab liberal Islam. Era 1990-an juga bisa disebut sebagai “bulan madu” islam dengan negara, sebab pada tahun ini negara benar-benar menengok Islam sebagai sesuatu yang amat penting.

B.       Islam dan Terorisme
a.    Pengertian Terorisme
Terorisme mempunyai beberapa pengertian. Dalam bahasa barat terdapat beberapa definisi, seperti:
1)    Pemakaian kekerasan secara sistematis untuk mencapai tujuan politik (merebut, mempertahankan atau menerapkan kekuasaan).
2)    Keseluruhan tindakan kekerasan, penyerangan, penyenderaan warga sipil yang dilakukan sebagai organisasi politik untuk menimbulkan kesan kuat atas suatu negara, negaranya sendiri maupun negara lain.
3)    Sikap menakut-nakuti.
4)    Penggunaan kekerasan dan intimidasi, terutama untuk tujuan-tujuan politik.
5)    Kekerasan yang sangat jelas ditujukan pada warga sipil yang dipilih secara acak dalam usaha menimbulkan rasa takut yang menyebar kemana-mana dan karenaya memengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, teror diartikan dengan:
1.        Perbuatan (pemerintah dan sebagainya) yang sewenang-wenang (kejam, bengis, dan sebagainya.).
2.        Usaha menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Terorisme berarti penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan (terutama tujuan politik), praktik-praktik tindakan teror.
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa dalam terorisme terdapat unsur-unsur: (1) tindakan yang disengaja untuk menimbulkan ketakutan, (2) tujuan atau kepentingan yang akan dicapai oleh pembuat ketakutan dengan tindakan itu, (3) korban tindakan itu tidak selalu berkaitan langsung dengan tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian, tindakan atau penampilan tertentu yang tanpa disengaja menyebabkan orang lain ketakutan tidak dapat dimasukkan dalam kategori ketakutan. Demikian pula hukum atau ketentuan yang membuat orang takut untuk melakukan pelanggaran, tidak termasuk ke dalam kategori terorisme.[2]
Terorisme sebagai sebuah paham memang berbeda dengan kebanyakan paham yang tumbuh dan terorisme sering dikaitkan dengan agama islam. Dalam ajaran islam, orang-orang sering salah mengartikan jihad. Jihad sering diartikan sebagai tindak kekerasan dan tindak teror terhadap pihak-pihak tertentu atau berjuang di jalan Tuhan dengan jalan yang salah. Padahal pengertian jihad itu sendiri adalah usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan di jalan Allah. Jelaslah bahwa tujuan yang ingin dicapai ketika berjihad adalah kebaikan. Negara islam sering “tercap” sebagai pelopor teror, padahal tindakan teror juga terjadi di negara-negara non-muslim.
b.  Terorisme dalam Fiqh
Pembahasan mengenai terorisme tidak terdapat secara sendiri dalam kitab-kitab fiqh lama. Biasanya pembahasan mengenai terorisme terdapat dalam pasal atau bab tentang pembegal (قاطع الطريق) dan selalu berkenaan dengan hukuman atas pelakunya.
Dalam kitab al-Umm misalnya, Imam asy-syafi’i mengatakan:
وإدا أخافوا السبيل ولم ياًخذوا مالانفوا من الأرض ]سلسلة كتاب الشعب , ج 5 ص [129
“Jika menakut-nakuti orang yang lewat di jalan dan tidak mengambil harta, maka hukumannya adalah dibuang ketempat yang jauh.”

Pembahasan yang serupa juga ditemukan dalam dua Imam Syafi’iyah yang lain, yakni Imam al-Nawawi dan ibn hajar al-Haitami.
Imam al-Nawawi dalam kitabnya, المجموع شرح المهذبmenyatakan:
من شهر االسلاح وأجاف السبيل في مصرأوبرية وجب علي الإمام طلبه لأنه إذا ترك قويت شوكته وكثر الفسادبه في قتل انفوس وأخذالأموال. فاٍن وقع قبل أن ياًخذالمال ويقتل النفس عزر وحبس علي حسب مايراه السلطان, لأنه تعرقة بالنقب والمتعرض للزنا بالقبلة. دارالفكر, ]ج 20 ص 104[
“Jika ada orang memamerkan senjata dan menakut-nakuti orang yang lewat di jalan, maka imam (penguasa politik) wajib mencarinya dan menangkapnya, karena jika dibiarkan, akan bertambah kekuatannya dan terjadi banyak kerusakan dengan senjata itu dalam bentuk pembunuhan dan perampasan. Jika ia tertangkap sebelum mengambil harta dan membunuh, maka ia pasti di hukum takzir dan dibui sesuai dengan pendapat penguasa, karena ia menunjukkan tanda-tanda akan melakukan kedurhakaan besar, sebagaimana orang yang menunjukkan tanda-tanda akan mencuri dengan merusak pagar dan orang yang menunjukkan tanda-tanda akan berzina dengan mencium.”
Imam Ibn Hajar al-Haitami menyatakan dalam kitabnya,تحفة المحتاج:
ولوعلم الإمام قوما يخيفون الطريق (أوواحدا) ولم يأخذوا مالا (نصابا) ولا (قتلوا) نفسا عزرهم (وجوبا مالم يرالمصلحة في تركه...) بحبس وغيره.]  نفس المصدر ص 159[
“Jika imam mengetahui sekelompok orang (atau satu orang) menakut-nakuti jalan, tanpa mengetahui harta (sampai satu nishab) dan tidak (membunuh) jiwa, maka ia pasti menerapkan takzir atas mereka (sebagai suatu kewajiban, jika ia tidak melihat alasan yang dibenarkan dalam membiarkannya...) dengan memenjarakan mereka atau dengan cara lain.”

c.    Hukum Terorisme
Dalam tafsir ayat di atas di sebutkan bahwa variasi hukuman itu berdasarkan atas kualitas kejahatan mereka. Hukum mati bagi mereka yang membunuh saja dengan tidak merampas, pemalangan atau penyaliban untuk mereka yang membunuh dan merampas, pemotongan tangan dan kaki untuk mereka yang hanya merampas, sedangkan pembuangan untuk mereka yang hanya mengganggu ketentraman umum. Dalam tafsir al-Jalain, misalnya, dinyatakan:
فالقتل لمن قتل فقط والصلب لممن قتل وأخذ المال والقطع لمن أخذالمال ولم يقتل والنفي لمن أخاف فقط. قاله ابن عباس وعليه الشفعي وأصح قوليه أن الصلب ثلاثا بعد القتل وقيل قبله قليلا ويلحق باالنفي ماأشبهه في التنكيل من الحبس وغيره
“Hukum bunuh merupakan hukuman bagi orang yang hanya membunuh, penyaliban untuk orang yang membunuh dan mengambil harta, potong tangan untuk yang mengambil harta tapi tidak membunuh dan dan pembuangan untuk orang yang hanya menakut-nakuti. Demikian pendapat yang dikemukakan Ibn Abbas dan diikuti asy-Syafi’i. Di antara dua pendapat asy-Syafi’i adalah bahwa penyaliban tiga kali disebutkan setelah hukum bunuh, dikatakan oleh sebagian ulama: sedikit sebelum hukuman mati. Hukuman-hukuman yang menyerupainya seperti pengurungan dikategorikan dalam pembuangan.”
Ini berarti terorisme pada umumnya, baik untuk tujuan mengambil harta maupun untuk tujuan-tujuan politik dan lainnya, masuk dalam bab memerangi Allah dan Rasul-Nya atau al-Hibarah, yang hukum dasarnya jelas haram. Akibat terorisme sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Rasa aman yang hilang merupakan siksaan kejiwaan yang berdimensi luas dan mendalam. Ini termasuk dalam “kekerasan” yang tindakan menimbulkannya sangat dilarang oleh Islam.
d.    Bentuk-bentuk terorisme
Kejadian-kejadian dan aksi-aksi terorisme yang tengah menimpa manusia sangatlah banyak dan beraneka ragam, sesuai dengan kondisi dan keadaan yang diharapkan oleh para pelakunya guna meraih sasaran dan target mereka. Namun, menurut catatan sejarah dan berbagai kejadian yang melanda umat saat ini, seluruh kejadian dan aksi tersebut tidaklah keluar dari dua perkara:[3]
a)    Terorisme fisik
Peristiwa-peristiwa yang sekarang menjadi puncak sorotan perhatian manusia. Seperti, peledakan,pengeboman, penculikan, aksi bunuh diri, pembajakan, dan seterusnya.
Berbagai kejadian pahit dari terorisme fisik ini tercatat dalam sejarah. Seperti, Pembunuhan khalifah yang mulia, Umar bin Khattab Al-faruq oleh seorang Majusi yang bernama Abu Lu’luah adalah salah satu bentuk terorisme yang rendah dan hina. Selanjutnya, pembunuhan khalifah yang mulia, Utsman bin Affan Dzu Nur’ain oleh gerombolan Khawarij dengan provokasi dari pendiri Syi’ah, Abdullah bin Saba’ seorang Yahudiyang berpura-pura masuk islam juga termasuk bentuk terorisme yang terkutuk.
b)   Terorisme Ideologi (pemikiran/pemahaman)
Terorisme jenis ini jauh lebih berbahaya daripada terorisme fisik, sebab seluruh bentuk terorisme fisik yang terjadi bersumber dari dorongan ideologi para pelakunya, baik dari kalangan orang-orang kafir yang merupakan sumber terorisme dimuka bumi ini maupun dari kalangan kaum muslimin yang pemikirannya telah menyimpang dari jalan islam yang benar.
e.    Agenda dunia islam dalam menanggulangi terorisme
a.  Mengedepankan sikap toleransi yang dianjurkan Islam dan memberikan pemahaman yang benar, melalui sarana pengetahuan dan pendidikan, sehingga dapat dibedakan antara pengertian jihad dan irhab (terorisme), baik dalam segi bentuk dan substansinya.
b.  Penanggulangan terorisme harus dilakukan secara transparan dengan menggunakan bukti-bukti yang valid, karena pada dasarnya hak-hak asasi manusia (HAM) harus dihargai, kecuali terbukti melanggar undang-undang.
c.  Kesalahan hanya dibebankan pada pelaku teroris dan tidak berlaku bagi orang lain. Hal ini sebagaimana sisebutkan dalam shuhuf  Musa dan Ibrahim serta al-Qur’an:
أم لم بنيّا بما في صحف موسي وإبراهيم الذي وفّي الما تزروزرة وزر أخري
d. Menghormati nota kesepakatan aturan internasional sekaligus setiap negara menghormati keberadaan negara lain, sehingga di saat terjadi tindakan terorisme hanya negara tersebut yang bergerak tanpa intervensi negara lain, kecuali menyampaikan ke pihak yang terkena kerugian.
e.  Perlu adanya pengentasan kemiskinan dunia dan memberikan setiap negara untuk maju sesuai kemampuan masing-masing negara.
f.  Harus menghormati perbedaan beragama, peradaban dan kebudayaan manusia dan tidak dianggap sebagai benturan. Oleh karena itu, perlu adanya pengembangan dialog yang bersandar pada logika, nilai dan kemanfaatan bersama.
g.  Perlu adanya penegakan kedzaliman, terutama kedzaliman sejarah yang berkaitan dengan Palestina, karena ini termasuk inti dari akar terorisme.
C.       Islam dan Pluralisme Beragama
a.          Isu Pluralisme
Agama turun untuk menjadi pegangan bagi penganutnya. Dalam bahasa al-Qur’an pegangan ini disebut petunjuk (hudan). Manusia sebagai penganut agama tentu sarat dengan konteks waktu, konteks tempat, konteks masalah, konteks kebutuhan, konteks tuntutan dan sejenisnya. Konsekuensinya, agamapun penuh dengan konteks, penuh dengan historisitas, sesuai dengan konteks umat penerima agama, baik dari sisi ajaran maupun sarana atau cara yang digunakan untuk menyampaikan ajaran. Karena itu, isi maupun cara menyampaikan ajaran agama sangat tergantung pada konteks penganut agama tersebut.Betapa besar pengaruh historisitas atau konteks penganut agama terhadap isi ajaran agama, dapat dibuktikan dengan islam yang turun di Arab. Dapat dibuktikan seluruh isi al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad SAW merupakan jawaban terhadap persoalan-persoalan masyarakat Arab di masa itu. Bisa juga, ajaran agama islam tidak seperti yang kita kenal sekarang andaikan Nabi Muhammad SAW tidak hidup di Arab.[4]
Pemahaman terhadap ajaran agamapun sangat dipengaruhi oleh konteks penganutnya, baik bersifat positif maupun negatif terbukti sepanjang sejarah muslim dikenal sejumlah mazhab (aliran-aliran) baik dalam bidang fiqh maupun bidang-bidang lainnya seperti teologi, tafsir. Bahkan ketika Nabi masih hidup sudah ada perbedaan pendapat (mazhab atau aliran), dalam memahi sumber ajaran islam, dan nabi sendiri mengakui keberadaannya.
Pentingnya masalah pluralis dipahami adalah bagian dari kebutuhan masyarakat Indonesia yang pluralis sendiri. Dengan ungkapan lain, diantara masalah yang dihadapi adalah masalah pluralis, pluralis di bidang agama, pluralis suku, pluralis ras, budaya dan semacamnya. Karena itu, masalah ini harus dibahas dan mencari jalan terbaik untuk menyelesaikannya. Pluralis bisa menjadi sumber petaka, sebaliknya bisa juga sumber kekuatan. Harapannya adalah agar pluralis yang kita miliki menjadi sumber kekuatan.
b.         Konsep Pluralisme
Konsep pluralisme memang memiliki makna yang penting terutama dalam konteks studi islam. Kesadaran terhadap pluralitas merupakan salah satu faktor determinan yang akan mengantarkan ke arah kehidupan sosial, khususnya kehidupan antar umat beragama, yang damai dan saling menghargai. Namun persoalannya, pemaknaan terhadap pluralisme sendiri juga tidak tunggal, tetapi sangat beragam. Ada yang berkonotasi positif, netral, dan negatif. Mereka yang memaknai secara negatif, melihat pluralisme sebagai konsep yang sarat kepentingan ideologis, imperealis, bahkan teologis. Sikap mencurigai dan memusuhi terhadap pluralisme sebagaimana yang belakangan menjadi bahan perdebatan sengit merupakan bentuk interpretasi negatif atas konsep ini.[5]
Pluralisme merupakan tantangan, akan tetapi bila tantangan tersebut tidak diperhatikan dengan sungguh-sungguh maka agama-agama akan kehilangan persepsi yang benar tentang dunia dan masyarakat di mana mereka hidup. Pluralisme telah menjadi ciri esensial dari dunia dan masyarakat sekarang. Dunia telah menjadi satu dan menjadi sebuah kampung kecil di mana umat manusia hidup bersama di dalamnya. Kelompok-kelompok masyarakat hidup saling berhubungan, saling tergantung satu terhadap yang lain. Jaringan komunikasi telah menembus tembok-tembok yang tadinya mengisolasi kelompok-kelompok agama di masyarakat.
Pluralisme bukan sekadar multiplikasi kepelbagian, bukan hanya ekstensif, akan tetapi kualitatif. Pluralisme masa sekarang, jenis bentuk dan isinya berbeda dengan pluralisme yang kita alami di masa lampau. Pluralisme masa lampau menuntut suatu respon kerukunan, koeksistensi, dan keserasian hidup dari kelompok-kelompok agama di masyarakat. Corak kepelbagian itu bersifat pasif, kalau kita mendatanginya kita baru mengalaminya, akan tetapi pluralisme sekarang ini bersifat sangat aktif, kalau kita tidak memperdulikannya maka kita akan digilasnya.[6]
Pluralisme di masa sekarang terjadi karena tiap-tiap kelompok itu sudah mengalami proses emansipasi sedemikian rupa, sehingga setiap bagian itu sudah melakukan emansipasi bersama, dan tampil bersama secara setara. Tidak ada orang yang bisa mengatakan bahwa sesuatu pihak tidak punya hak untuk tampil. Dengan demikian bisa dikatakan, bahwa pluralisme jenis yang sekarang ini tampil bersama dengan kesadaran emansipatoris dari setiap kelompok yang ada di masyarakat. Kenyataan semacam ini melahirkan urgensi baru untuk memahami serta menanggapinya secara baru.
Menurut The Oxford English Dictionary, Pluralisme berarti “sebuah watak untuk menjadi plural”, dan dalam ilmu politik didefinisikan sebagai: pertama, sebuah teori yang menentang kekuasaan monolitik negara dan bahkan menganjurkan untuk meningkatkan pelimpahan dan otonomi organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan seseorang dalam masyarakat. dalam hal ini juga dipercayai bahwa kekuasaan harus dibagi diantara partai-partai politik yang ada. Kedua, keberadaan toleransi keragaman kelompok-kelompok etnis budaya dalam suatu masyarakat.
Secara historis, istilah pluralisme diidentikkan dengan sebuah aliran filsafat, yang menentang konsep negara absolut dan berdaulat. Sementara pluralisme klasik merupakan reaksi terhadap doktrin hukum tentang kedaulatan negara, pluralisme kontemporer yang muncul tahun 1950-an, dikembangkan tidak untuk menentang kedaulatan negara tetapi untuk menentang teori-teori tentang elit. Pendapat ini merujuk pada definisi pluralisme yang pertama, yang menekankan pluralisme politik. Namun, pluralisme yang asli merujuk pada problem masyarakat plural yang pendukunganya tidak homogen tetapi terbagi-bagi oleh kesukuan, etnis, ras, dan agama, dan apabila mereka menyatu justru cenderung meningkatkan konflik.

D.      Islam dan Kesetaraan Gender
a.    Pengertian Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti “jenis kelamin”. Menurut Nashiruddin Umar, pengertian ini kurang tepat, sebab pengertian gender disamakan dengan sex yang berarti jenis kelamin pula. Persoalan ini muncul barangkali adalah karena kata gender termasuk kosa kata baru, sehingga pengertiannya belum di temukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam Webster’s New World Dictionary, diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dari segi nilai dan tingkah laku.  Sementara dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Menurut  Mansoer Fakih  pengertian gender adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan dikenal lemah lembut, cantik. Emosional, keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Akan tetapi ciri-ciri tersebut dapat ditukarkan. Artinya ada juga laki-laki yang lemahlembut, sementara ada juga perempuan yang rasional, kuat, dan perkasa. H. T. Wilson  juga mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan antara laki-laki dan perempuan. Ia berpendapat bahwa gender tidak lebih dari sekedar pembedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi menekankan gender sebagai konsep analisis yang dapat  digunakan untuk menjelaskan sesuatu.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa gender adalah konsep perbedaan laki-laki dan perempuan sebagai hasil bentukan sosial dan budaya, bukan bersifat biologis atau kodrati. Dengan demikian perbedaannya adalah non-biologis. Perbedaan tersebut dapat dipertukarkan dari satu tempat ke tempat lain.
b.    Islam dan Gender
Bagaimanapun juga, wacana tentang gender tidak bisa dilepaskan dari masalah teologis. Dalam hal ini agama juga mempunyai andil besar di kehidupan masyarakat. mengingat posisi perempuan dalam beberapa agama dan kepercayaan ditempatkan pada the secound sex.
Berbeda dengan ajaran islam yang secara prinsip hubungan antara laki-laki dan perempuan itu sejajar di hadapan Allah (khaliq). Hal ini diperkuat dengan adanya sejumlah nash yang berbicara tentang kesejajaran antara laki-laki dan perempuan yang dikelompokkan menjadi delapan yakni:
1.    Statemen umum tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan,
2.    Asal usul,
3.    Amal,
4.    Saling kasih dan mencintai,
5.    Keadilan dan persamaan,
6.    Jaminan sosial,
7.    Saling tolong menolong,
8.    Kesempatan mendapatkan pendidikan.
Adapun lahirnya konsep gender dalam islam ada sepuluh faktor yakni:
a.    Penggunaan studi islam yang parsial
b.    Belum ada kesadaran pentingnya pembedaan nash menjadi normatif- universal dengan praktis-temporal
c.    Terkesan sejumlah nash memarginalkan perempuan, sebagai akibat penggunaan parsial.
d.   Budaya-budaya muslim yang merasuk terhadap ajaran islam
e.    Dominasi teologi laki-laki dalam memahami nash
f.     Kajian islam dengan pendekatan murni
g.    Generalisasi (mengambil hukum umum) dari kasus khusus
h.    Mengambil hukum sebagai produk hukum dari penetapan hukum berdasarkan siyasah al syari’ah
i.      Kajian islam yang literalis dan historis (tekstual)
j.      Perang kekuasaan (penguasa).

IV.  KESIMPULAN
A.  Islam Liberal
Format pemikiran era 1990-an jauh berbeda dengan corak pemikiran Islam era 1960-an sebagai gelombang awal pergulatan pemikiran Islam Indonesia. Pemikiran Islam era 1990-an merupakan kelanjutan dari corak pemikiran Islam tahun 1970 dan 1980-an dengan aktor-aktor baru yang muncul di pentas nasional.
Perubahan sikap rezim kekuasaan terhadap Islam telah mendukung perkembangan pemikiran Islam era 1990-an. Corak pemikiran Islam pada era ini sejatinya mempunyai kecenderungan menjembatani ketegangan konseptual antara gagasan-gagasan keislaman dengan ide-ide politik dan kenegaraan 1980-an di bawah rezim Orde Baru.
B.  Islam dan Terorisme
Terorisme sebagai sebuah paham memang berbeda dengan kebanyakan paham yang tumbuh dan terorisme sering dikaitkan dengan agama islam. Dalam ajaran islam, orang-orang sering salah mengartikan jihad. Jihad sering diartikan sebagai tindak kekerasan dan tindak teror terhadap pihak-pihak tertentu atau berjuang di jalan Tuhan dengan jalan yang salah. Padahal pengertian jihad itu sendiri adalah usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan di jalan Allah. Jelaslah bahwa tujuan yang ingin dicapai ketika berjihad adalah kebaikan. Negara islam sering “tercap” sebagai pelopor teror, padahal tindakan teror juga terjadi di negara-negara non-muslim.
C.  Islam dan Pluralisme Beragama
Pluralisme di masa sekarang terjadi karena tiap-tiap kelompok itu sudah mengalami proses emansipasi sedemikian rupa, sehingga setiap bagian itu sudah melakukan emansipasi bersama, dan tampil bersama secara setara. Tidak ada orang yang bisa mengatakan bahwa sesuatu pihak tidak punya hak untuk tampil. Dengan demikian bisa dikatakan, bahwa pluralisme jenis yang sekarang ini tampil bersama dengan kesadaran emansipatoris dari setiap kelompok yang ada di masyarakat.
D.  Islam dan Kesetaraan Gender
Gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Dalam ajaran islam gender adalah yang secara prinsip hubungan antara laki-laki dan perempuan itu sejajar di hadapan Allah (khaliq).

V.  PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat pemakalah uraikan. Pemakalah  menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan.Karena sesungguhnya kesempurnaan itu milik Allah dan kekurangan bagian dari kita.Oleh karena itu, pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif untuk memperbaiki makalah berikutnya.Semoga makalah ini bermanfaat dan menambah referensi pengetahuan kita.Terimakasih.




  
DAFTAR PUSTAKA

Qadir, Zuly. 2010. Islam Liberal: Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.
Machasin. 2011. Islam Dinamis Islam Harmonis. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.
Nasution, Khoiruddin. 2009. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: ACAdeMIa + TAZZAFA.
Wijdan. 2007. Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Safiria Insania Press.
M. Sunusi, Dzulqarnain, Antara Jihad dan Terorisme, Makassar: Pustaka as-Sunnah, 2006.
Naim, Ngainun, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Teras, 2009.




 BIODATA SINGKAT PEMAKALAH


1.      Nama Lengkap       : Zunia Ervin Siana
Nama Panggilan      : Ervin
Jurusan/ Prodi         : PGMI
TTL                         : Jepara, 20 Juni 1994
Pedidikan                :
a.         SDN 01 Blimbingrejo
b.         SMPN 02 Kaliwungu, Kudus
c.         SMAN 01 Nalumsari, Jepara
d.        IAIN Walisongo, Semarang
Alamat Rumah        : Blimbingrejo RT.06/ RW. IV, Nalumsari, Jepara
Alamat Kos             : Ma’had Walisongo
No. HP                    : 089667773332
E-mail                     : zuniaervin@ymail.com

2.      Nama Lengkap       : Nur Khanifatun Ni’mah
Nama Panggilan      : Ni’mah
Jurusan/ Prodi         : PGMI
TTL                         : Pati, 09 desember 1994
Pedidikan                :
a.         SD Growong Lor 03
b.         MTs. Al-Hikmah
c.         MA. Al-Hikmah
d.        IAIN Walisongo, Semarang
Alamat Rumah        : Ds. Growong Lor, Juwana, Pati
Alamat Kos             : Ma’had Walisonggo
No. HP                    : 089637039050
E-mail                     : eL.nizfa@yahoo.com


3.      Nama Lengkap       : Fauzia Azmatussulkha
Nama Panggilan      : Zia
Jurusan/ Prodi         : PGMI
TTL                         : Blora, 24 September 1994
Pedidikan                :
a.         SDN 1 Todanan, Blora
b.         MTs. Khozinatul Ulum, Todanan
c.         MA. Salafiyah, Kajen, Pati
d.        IAIN Walisongo, Semarang
Alamat Rumah        : Cokrowati, Todanan, Blora
Alamat Kos             : Perum. BPI Blok I-10
No. HP                    : 081914496624
E-mail                     : fauziafaza@ymail.com

4.      Nama Lengkap       : Romdonah
Nama Panggilan      : Dona
Jurusan/ Prodi         : PGMI
TTL                         : Kendal, 12 April 1993
Pedidikan                :
a.         SD Gubugsari
b.         MTs.NU Sunan Abi Nawa
c.         MA
d.        IAIN Walisongo, Semarang
Alamat Rumah        : GubugsariRT.04, RW. IV, Pegandon, Kendal
Alamat Kos             : BPI Blok R-14
No. HP                    : 081901596311
E-mail                     : -


[1]Dr. Zuly Qadir, Islam Liberal: Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2010), hlm.87.
[2]Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2011), hlm. 213.
[3]Dzulqarnain M. Sunusi, Antara Jihad dan Terorisme, (Makassar: Pustaka as-Sunnah, 2006), hlm. 132-134.
[4]Prof. Dr. H. Khoiruddin Nasution, MA, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: ACAdeMIa + TAZZAFA, 2009), hlm. 257.
[5]Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 134-135.
[6] Wijdan SZ. Dkk., Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2007), hlm. 208.