RSS

KEBUDAYAAN, BUDAYA LOKAL, DAN TOLERANSI SOSIAL

I.       PENDAHULUAN
Budaya merupakan identitas bangsa yang harus dihormati dan dijaga dengan baik oleh para penerus bangsa. Budaya lokal Indonesia beranekaragam sesuai dengan potensi yang dimiliki Indonesia sebagai negara majemuk yang terdiri dari banyak pulau, suku, dan sumber daya lainnya. Dalam artikelnya, Parsudi Suparlan mengatakan bahwa potensi Indonesia sebagai negara multikultural, telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendefinisikan apa yang disebut kebudayaan bangsa, seperti yang terdapat pada penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: “Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.
Hal ini menjadi satu kebanggaan sekaligus suatu tantangan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk dapat mempertahankan budaya lokal yang ada di tengah banyaknya pengaruh budaya asing yang dapat merusak budaya lokal. Tugas ini tentunya dikhususkan bagi generasi penerus bangsa yang mulai mengabaikan pentingnya peranan budaya lokal untuk memperkokoh ketahanan budaya bangsa. Padahal ketahanan budaya bangsa merupakan salah satu identitas negara di mata Internasional.[1]
Maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengertian dari kebudayaan, unsur-unsur yang ada dalam kebudayaan, caranya menumbuhkan kesadaran budaya, pengertian kebudayaan lokal, faktor-faktor dari budaya lokal, pengertian toleransi sosial.

II.    RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian kebudayaan?
B.     Apa saja unsur-unsur dalam kebudayaan?
C.     Bagaimana caranya menumbuhkan kesadaran budaya?
D.    Apa pengertian kebudayaan lokal?
E.     Apa faktor-faktor dari budaya lokal?
F.      Apa pengertian toleransi sosial?



III. PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kebudayaan
Kata kebudayaan berasal dari kata budh dalam bahasa Sansekerta yang berarti akal, kemudian menjadi kata budhi (tunggal) atau budhaya (majemuk), sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kebudayaan berasal dari budi dan daya. Budi adalah akalyang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan, sedangkan daya berarti perbuatan atau ikhtiar sebagai unsur jasmani, sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil dari akal dan ikhtiar manusia.
Dalam bahasa Inggris,kebudayaan adalah culture, berasal dari kata culere (bahasa Yunani) yang berarti mengerjakan tanah. Dengan mengerjakan tanah, manusia mulai hidup sebagai penghasil makanan (food producing). Hal ini berarti manusia telah berbudi daya mngerjakan tanah karena telah meninggalkan kehidupan yang hanya memungut hasil alam saja (food gathering).
Kebudayaan menurut para ahli, sebagai berikut ini:
a.       Ki Hajar Dewantara
Kebudayaan adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
b.      Koentjaraningrat
Kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar serta keseluruhan dari hasil budi pekertinya.[2]
c.       Soemardjan dan Soemardi
Kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dalam definisi yang diungkapkan oleh Soemardjan dan Soemardi ini, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan itu merupakan hasil dari usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani agar hasilnya dapat digunakan untuk keperluan masyarakat, misalnya dapat dicontohkan berikut ini:
1.      Karya (kebudayaan material) yaitu kemampuan manusia untuk menghasilkan benda atau lainnya yang berwujud benda.
2.      Rasa, didalamnya termasuk agama, ideologi, kebatinan, kesenian, dan semua unsur ekspresi jiwa manusia yang berwujud nilai-nilai sosial dan norma-norma sosial.
3.      Cipta merupakan kemampuan mental dan berfikir yang menghasilkan ilmu pengetahuan.
d.      Herkovits
Kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan oleh manusia.
Dengan demikian, kebudayaan atau budaya menyangkut keseluruhan aspek kehidupan manusia, baik material maupun non-material. Sebagian besar ahli yang mengartikan kebudayaan seperti ini kemungkinan besar sangat dipengaruhi oleh pandangan evolusionisme, yaitu suatu teori yang mengatakan bahwa kebudayaan itu akan berkembang dari tahapan yang sederhana mewujud tahapan yang lebih kompleks.[3]
B.     Unsur-unsur Budaya
Kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat terdiri atas unsur-unsur besar maupun unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari suatu kebulatan yang bersifat sebagai kesatuan. Beberapa orang sarjana telah mencoba merumuskan unsur-unsur pokok kebudayaan itu, misalnya Melville J. Herskovits mengajukan empat unsur pokok kebudayaan, yaitu: 1) alat-alat teknologi, 2) sistem ekonomi, 3) keluarga, dan 4) kekuasaan politik. Disamping itu, Bronislaw Malinowski yang seorang antropolog menyebut unsur-unsur pokok kebudayaan sebagai berikut:
1.      Sistem norma yang memungkinkan kerjasama antara para anggota masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya.
2.      Organisasi ekonomi.
3.      Alat-alat atau lembaga atau petugas pendidikan. Perlu diingat bahwa keluarga merupakan lembaga pendidikan yang utama.
4.      Organisasi kekuatan.
Masing-masing unsur tersebut, beberapa macam unsur kebudayaan untuk kepentingan ilmiah dan analisisnya diklasifikasikan ke dalam unsur-unsur pokok atau unsur besar kebudayaan, lazim disebut cultural iniversals. Istilah ini menunjukkan bahwa unsur-unsur tersebut bersifat universal, yaitu dapat dijumpai pada setiap kebudayaan dimanapun di dunia ini. Unsur-unsur kebudayaanyang dianggap sebagai cultural iniversals yaitu sebagai berikut:
1.      Peralatan dan perlengkapan bentuk hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transport, dan sebagainya).
2.      Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, perternakan, sistem produksi, sistem distribusi, dan sebagainya).
3.      Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan, dan sebagainya).
4.      Bahasa (lisan maupun tulisan).
5.      Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya).
6.      Sistem pengetahuan.
7.      Religi (sistem kepercayaan).[4]

C.     Cara Menumbuhkan Kesadaran Budaya
Adanya kesadaran budaya ditandai oleh: pertama, pengetahuan akan adanya berbagai kebudayaan suku bangsa yang masing-masing mempunyai jati diri beserta keunggulan-keunggulannya, kedua, sikap terbuka untuk menghargai dan berusaha memahami kebudayaan suku-suku bangsa di luar suku bangsanya sendiri, dengan kata lain kesediaan untuk saling kenal, ketiga, pengetahuan akan adanya berbagai riwayat perkembangan budaya di berbagai tahap masa silam dan keempat, pengertian bahwa disamping merawat dan mengembangkan unsur-unsur warisan budaya, sebagai bangsa Indonesia yang bersatu juga sedang memperkembangkan sebuah kebudayaan baru, yaitu kebudayaan nasional, yang dapat mengambil sumber dari mana pun, yaitu dari warisan budaya sendiri maupun dari unsur budaya asing yang dianggap dapat meningkatkan harkat bangsa.[5]
D.    Pengertian Kebudayaan Lokal
Menurut J.W. Ajawaila, budaya lokal adalah budaya asli dari suatu kelompok masyarakat tertentu yang juga menjadi ciri khas budaya sebuah kelompok masyarakat lokal. Tapi, tidak mudah untuk merumuskan atau mendefinisikan konsep budaya lokal. Menurut Irwan Abdullah, definisi kebudayaan hampir selalu terikat pada batas-batas fisik dan geografis yang jelas. Misalnya, budaya Jawa yang merujuk pada suatu tradisi yang berkembang di Pulau Jawa. Oleh karena itu, batas geografis telah dijadikan landasan untuk merumuskan definisi suatu kebudayaan lokal. Namun, dalam proses perubahan sosial budaya telah muncul kecenderungan mencairnya batas-batas fisik suatu kebudayaan. Hal itu dipengaruhi oleh faktor percepatan migrasi dan penyebaran media komunikasi secara global sehingga tidak ada budaya lokal suatu kelompok masyarakat yang masih sedemikian asli.[6]
Budaya lokal atau daerah budaya (cultural area atau kultuurprovinz) yang memiliki suatu budaya khas yang membedakannya dengan daerah lain, dan suatu daerah budaya tidaklah sama dengan daerah pemerintahan (public administration atau political administration). Misalnya, daerah Tingkat I Sumatra Utara yang merupakan satu kesatuan pemerintahan propinsi, jika dilihat dari segi budayanya, di dalamnya ada daerah Melayu, Tapanuli, dan Nias. Daerah suku Tapanuli pun dapat dibedakan lagi atas subsuku Karo, Simalungun, Toba, Dairi, Angkola dan Mandailing walau[un semuanya itu adalah suku Batak.[7]  

E.     Faktor-faktor Budaya Lokal
a.       Wilayah
Wilayah Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau. Menurut angka resmi terakhir, Indonesia terdiri atas 13.667 pulau (hitungan baru lebih dari 17.000 pulau). Hal tersebut menyebabkan penduduknya hidup berpencar-pencar, yaitu menempati pulau yang berbeda-beda. Selain itu, yang menempati pulau yang sama pun masih dapat terpisahkan oleh sungai, danau, pegunungan, gunung, dan teluk sehingga masih banyak perbedaan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila dalam Negara kepulauan terdapat beraneka ragam kebudayaan yang makin menyatakan sifat majemuknya.
b.      Penduduk
Penduduk Indonesia terdiri atas bermacam-macam keturunan, ras maupun bangsa. Di Indonesia bagian timur, penduduk asli Indonesia termasuk dalam ras Negroid subras Papua Melanesoid dengan cirri-ciri kulit hitam, rambut keriting dan badan kekar. Sedangkan di Indonesia bagian barat, penduduk aslinya termasuk ras Mongoloid subras Melayu dengan ciri-ciri kulit sawo matang, rambut lurus dan badan sedang.
Selain dari kedua subras tersebut, keaneragaman bangsa Indonesia masih ditambah lagi dengan penduduk hasil dari perkawinan campuran. Pada umumnya, dalam pencampuran tersebut, induknya bersal dari penduduk asli, sedangkan bapaknya dari penduduk asing, seperti Cina, Arab, India dan Barat.
c.       Kepentingan
Kepentingan manusia merupakan faktor lain yang menimbulkan kebutuhan kebudayaan majemuk, terutama adalah kepentingan yang menyangkut mata pencaharian. Berdasarkan mata pencaharian, lahirlah yang disebutmasyrakat petani, masyarakat nelayan, masyarkat pegawai dan sebagainya. Pendidikan yang makin tinggi kedudukannya, makin tinggi pula syaratnya.
Antara masyarakat satu dan masyarakat yang lain memiliki perbedaan budaya sesuai dengan mata pencaharian. Oleh karena itu, pendidikan bagi masyarakat petani dan nelayan kurang diperlukan, lain halnya dalam masyarakat pegawai, pendidikan merupakan hal yang mutlak. Hal itu disebabkan oleh perbedaan lingkungan dan keturunan. Demikian juga dengan pegawai yang ada di suatu daerah di Indonesia, sikap dan pemikirannya akan berbeda dengan pegawai yang ada di pusat.[8]

F.      Pengertian Toleransi Sosial
1.      Manusia sebagai makhluk individu
Individu berasal dari kata in dan devided. Dalam bahasa inggris in salah satunya mengandung pengertian tidak, sedangkan devided artinya terbagi. Jadi individu artinya tidak terbagi atau satu kesatuan. Juga merupakan suatu sebutan  untuk menyatakan suatu kesatuan yang terkecil dan terbatas. Individu merupakan kesatuan aspek rohani dan jasmani. Dengan kemampuan rohaniahnya individu dapat berhubungan dan berfikir serta dengan pikirannya itu mengendalikan dan memimpin kesanggupan akal dan kesanggupan budi untuk mengatasi segala masalah dan kenyataan yang dialaminya.    
Manusia sebagai mahluk individu memiliki unsur jasmani dan rohani, unsur fisik dan psikis, unsur raga dan jiwa. Seseorang dapat dikatakan sebagai mahluk individu manakala unsur-unsur tersebut menyatu dalam dirinya. Jika unsur tersebut sudah tidak menyatu lagi maka seseorang tidak disebut lagi sebagai individu. Mahluk individu dalam hal ini adalah seorang manusia yang tidak hanya memiliki peranan-peranan yang khas didalam lingkungan sosialnya, melainkan juga mempunyai kepribadian serta pola tingkah laku spesifik tentang dirinya.

2.      Manusia sebagai makhluk sosial
Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak lepas dari pengaruh orang lain, yang artinya manusia membutuhkan orang lain dan lingkungan sosialnya sebagai sarana untuk bersosialisasi dan berinteraksi dengan cara memanfaatkan alam dan lingkungan untuk menyempurnakan serta meningkatkan kesejahterahan hidupnya demi kelangsungan hidup. Oleh karena itu manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang didalam hidupnya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh manusia lain.
Menurut kodratnya manusia adalah makhluk sosial atau makhluk yang bermasyarakat, selain itu juga diberikan kelebihan berupa akal pikiran yang berkembang dan dapat dikembangkan. Perilaku manusia dipengaruhi orang lain, ia melakukan sesuatu dipengaruhi faktor dari luar dirinya, seperti patuh pada norma masyarakat, dan keinginan mendapat respon positif dari orang lain (pujian).[9]    
Toleransi sosial merupakan kebutuhan individu atau kelompok dalam menata kehidupan dalam bermasyarakat, pengertian toleransi mengacu pada gagasan dan komitmen individu atau kelompok yang mendorong sikap dan perilaku mereka dalam mewujudkan kehidupan bersama secara harmonis dan rukun. Toleransi sosial dilandasi oleh nilai-nilai kultural yang dipegang dan disepakati individu atau kelompok dalam menanggapi perbedaan dan pluralitas budaya (keragaman budaya).
Adapun syarat untuk membangun kerukunan atau toleransi umat beragama dapat di tempuh melalui beberapa cara antara lain:
a.       Membentuk forum bersama antar umat beragama yang efektif mulai dari tingkat provinsi sampai ketingkat desa,
b.      Memfungsikan ikatan dan rasa kekeluargaan dikalangan sesama warga masyarakat,
c.       Membangun kesadaran untuk menghargai dan saling memerlukan antar kelompok masyarakat dan kehendak mewujudkan kehidupan umat beragama yang rukun demi keutuhan dan berlangsungnya kehidupan berbangsa dan bernegara.[10]

IV. KESIMPULAN
1.      Kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
2.      Melville J. Herskovits mengajukan empat unsur pokok kebudayaan, yaitu: 1) alat-alat teknologi, 2) sistem ekonomi, 3) keluarga, dan 4) kekuasaan politik.
3.      Cara Menumbuhkan Kesadaran Budaya:
a.       Pengetahuan akan adanya berbagai kebudayaan suku bangsa yang masing-masing mempunyai jati diri beserta keunggulan-keunggulannya,
b.      Sikap terbuka untuk menghargai budaya lainnya,
c.       Pengetahuan akan adanya berbagai riwayat perkembangan budaya di berbagai tahap masa silam.
d.      Sebagai bangsa Indonesia yang bersatu juga sedang memperkembangkan sebuah kebudayaan baru.
4.      Menurut J.W. Ajawaila, budaya lokal adalah budaya asli dari suatu kelompok masyarakat tertentu yang juga menjadi ciri khas budaya sebuah kelompok masyarakat lokal.
5.      Faktor-faktor budaya lokal: wilayah, penduduk, kepentingan.

6.      Toleransi Sosial
a.       Manusia sebagai makhluk individu
Mahluk individu dalam hal ini adalah seorang manusia yang tidak hanya memiliki peranan-peranan yang khas didalam lingkungan sosialnya, melainkan juga mempunyai kepribadian serta pola tingkah laku spesifik tentang dirinya.
b.      Manusia sebagai makhluk sosial
Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang didalam hidupnya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh manusia lain.



[1] http://albertus19.wordpress.com/2010/03/03/makalah-kebudayaan/, diunduh tanggal 17/05/2014, pukul 11.12 WIB
[2] Supartono Widyosiswoyo, Ilmu Budaya Dasar, (Bogor Selatan: Ghalia Indonesia, 2004), hal. 30-31
[3] Arif Mansyuri, dkk., Ilmu Pengetahuan Sosial 2 Paket 8-14, (Surabaya: Amanah Pusaka, 2009), hal. 9-10
[4] Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial Budaya Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), hal.21`-22
[5] Edi Sedyawati, Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), hal. 330
[7] Supartono Widyosiswoyo, Ilmu Budaya Dasar, (Bogor Selatan: Ghalia Indonesia, 2004), hal. 40
[8] Supartono Widyosiswoyo, Ilmu Budaya Dasar, (Bogor Selatan: Ghalia Indonesia, 2004), hal. 39-40
[9] Arif Mansyuri, dkk., Ilmu Pengetahuan Sosial 2 Paket 8-14, (Surabaya: Amanah Pusaka, 2009), hal  9-10

Perencanaan Pendidikan

I.            PENDAHULUAN
Perencanaan pendidikan telah berkembang menjadi disiplin ilmu atau menjadi cabang ilmu pengetahuan yang baru. Jika dipandang dari sudut ideologi, maka perencanaan pendidikan adalah berbeda-beda, dan jika dipandang dari sudut metodologi, maka perencanaan pendidikan bersifat fleksibel yaitu dapat di sesuaikan dengan sistem social dan taraf perkembangan yang berbeda-beda dari berbagai masyarakat yang ada.
Perencanaan pendidikan adalah merupakan suatu proses kegiatan yang setiap orang berbeda-beda mendefinisikannya, kita juga dapat membuat definisi sendiri tentang perencanaan pendidikan, yaitu sebagai usaha untuk mencapai pengalokasian sumber daya pendidikan pada system pendidikan secara efisien, adil, dan rasional.[1]
Perencanaan pendidikan di sini akan membahas tentang apa pengertian perencanaan pendidikan, tujuan dan fungsi perencanaan pendidikan, jenis-jenis perencanaan pendidikan, prosedur perencanaan pendidikan serta bagaimana perencanaan pendidikan.

II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian dan bagaiamana Sejarah perencanaan pendidikan ?
B.     Apa Tujuan dan Fungsi perencanaan pendidikan?
C.     Apa  Jenis – Jenis Perencanaan Pendidikan?
D.     Bagaiamana Prosedur membuat Perencanaan pendidikan?
E.     Bagaiman Implementasi perencanaan pendidikan?

III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan sejarah perkembangan pendidikan
1.      Pengertian perencanaan pendidikan
Perencanaan merupakan kegiatan menetapkan tujuan serta merumuskan dan mengatur pendayagunaan manusia, informasi, finansial, metode dan waktu untuk memaksimalkan efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan.
Pendidikan berasal dari kata “pedagogi” yang berarti pendidikan dan kata “pedagogia” yang berarti ilmu pendidikan yang berasal dari bahasa Yunani. Pedagogia terdiri dari dua kata yaitu “paedos” dan “Agoge” yang berarti “saya membimbing, memimpin anak.”
Dari pengertian ini pendidikan dapat diartikan : kegiatan seseoarang dalam membimbing dan memimpin anak menuju ke pertumbuhan dan perkembangan secara optimal agar dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab.
Banyak konsep yang dikemukan oleh para ahli mengenai rumusan perencanaan pendidikan, diantaranya sebagai berikut:
a.    C.E. Beeby, perencanaan pendidikan adalah suatu usaha melihat ke masa depan dalam hal menentukan kebijaksanaan, prioritas dan biaya pendidikan dengan mempertimbangkan kenyataan-kenyataan yang ada dalam kegiatan ekonomi, sosial dan politik untuk pengembangan potensi sistem pendidikan nasional, memenuhi kebutuhan bangsa dan anak didik yang dilayani oleh sisten tersebut.
b.    Menurut Comb, perencanaan pendidikan merupakan aplikasi analisi rasonal dan sistmatik dalam proses pengembangan pendidikan yang bertujuan menigkatkan efektivitas dan efisiensi pendidikan dalam usahanya memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan (pendidikan) baik tujuan yang berhubungan dengan anak didik maupun masyarakat.
c.    Albert waterston, perencanaan pendidikan adalah investasi pendidikan yang dapat di jalankan dan kegiatan-kegiatan pembangunan lain yang didasarkan atas pertimbangan ekonomi dan biaya serta keuntungan sosial.[2]
2.      Sejarah perkembangan perencanaan pendidikan
Perencanaan pendidikan di Indonesia mengikuti perencanaan pembangunan nasional atau yang lebih di kenala dengan REPELITA kurun waktu antara 1967-1998, dan program pembangunan Ekonomi Nasional 1999-2004, serta Program Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009, sebagai berikut:
Pada REPELITA I tahun 1968-1975 perencanan pendidikan nasional dibebankan kepada Badan Pengenmbangan Pendidikan (BPP) yang berada dibawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan tugas utama membantu menteri dalam bidang penelitian dan perencanaan pendidikan sertamengadakan penyempurnaan dalam rangka penegmbangan pendidikan.
Pada tahun 1975 dibentuk Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K) dan kemudian BP3K membentuk suatu “Proyek Perintis Perencanaan Integral Pendidikan Derah” atau PROPPIPDA di Sumatra Barat dan Jawa Timur.
Pada tahun 1980 di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah dilaksanakan “Sistem Mekanisme perencanaan Tahunan Terpadu rutin dan Pembangunan” sebagai upaya menyatukan pendapat dan pikiran serta gagasan dalam merencanakan pendidikan dan kebudayaan.
Selanjutnya pada Repelita II dan seterusnya perencanaa pendidikan di Indonesia di koordinasikan oleh Biro Perencanaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Departemen Pendidikan Nasional) sekarang.
Pada tahun 1983 muncul gagasan untuk melakukan perencanaan pada daerah tingkat II kabupaten / Kota, dimana perencanaan pendidikan diarahkan pada perencanaan yang lebih rasional, lebih komfrehensif, lebih nyata dan tegas seta lebih di sesuaikan dengan kondisi sosiografis dan potensi dareah masing-masing.
Kebijakan perencanaan pendidikan kurn waktu 1975-1998 terus mengalami peningkatan dan penyempurnaan baik dari unsur kulitatif, kuantitatif, maupun dari sisi anggaran. Kurun waktu ini pemerintah terus mengirimkan tenga-tenaga perencanaan pendidikan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan di international for Education planning (IIEP) dibawah naungan UNESCO PBB di Paris.
Seiring dengan tuntunan Reformasi pada tahun 1998,dan dikeluarkannya undang-undang mengenai otonomi daerah serta pada era program pembangunan Ekonomi  Nasional 1999-2004 serta Rencana Pembangunan  jangka menengah Nasional 2004-2009 perencanaan pendidikan diitik beratkan pada daerah tingkat satu dan lebih dititik beratkan  lagi pada daerah tingkat satu dan lebih dititik beratkan lagi daerah tingkat dua dengan dibentuknya DinasPendidikan dan sub dinas / seksi dinas pada masing-masing Kabupaten / Kota.
Arah pembanguan bidang pendidikan nasioanl pada program pembangunan Ekonomi Nasioanl (PROPENAS) 1999-2004 seacar gari besar adalah mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan pendidikan, meningkatkan mutu kesejahteraan tenaga pendidik, memberdayakan lembaga pendidikan sebagai pusat kebudayaan, nilai, sikap dan kemampuan, melakukan pembaruan dan pemantapan sistem pendidikan termasuk pembaruan dan kurikulum dan pelaksanan desentralisasi pendidikan, meningkatkan kulitas lembaga pendidikan dalam menghadapi perekembangan ilmi pengetahuan, teknologi dan seni serta mengembangkan sumber daya manusia sedini mungkin.
Sedangkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 20004-2009 diarahkan pada peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang berkualitas dengan sasaran : menigktakan presentase siswa yang menamatkan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun; meningkatkan kualitas pendidikan, meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan pembangunan, meningkatkan efektivitas dan efisiensi manajemen pelayanan pendidikan.[3]
  1. Tujuan dan Fungsi Perencanaan Pendidikan
1.      Tujuan Perencanaan Pendidikan
Pada dasarnya tujuan perencanaan adalah sebagai pedoman untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Sebagai suatu alat ukur di dalam membandingkan antara hasil yang dicapai dengan harapan. Banyak tujuan yang hendak dicapai dari perencanaan pendidikan sebagai berikut :
a.       Menyajikan rancangan keputusan-keputusan atasan untuk disetujui pejabat tingkat nasional yang berwenang.
b.      Menyediakan pola kegiatan-kegiatan secara matang bagi berbagai bidang/satuan kerja yang bertanggung jawab untuk melakukan kebijaksanaan.[4]
c.       Mencari kebenaran atas fakta-fakta yang diperoleh atau yang akan disajikan agar dapat diterima oleh stake holder pendidikan.
d.      Menentukan tindakan-tindakan yang akan dilakukan dan diorientasikan pada masa depan.
e.       Meyakinkan secara logis dan rasional kepada stake holder pendidikan terhadap pendidikan.[5]
2.      Fungsi Perencanaan Pendidikan
Fungsi perencanaan pendidikan sama seperti fungsi perencanaan pada umumnya yaitu:
a.       Sebagai pola dasar dan petunjuk dalam mengambil keputusan tentang bagaimana  mencapai tujuan dan jalan apa yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut.
b.      Sebagai pedoman pelaksanaan dan pengendalian pelaksanaan pendidikan.
c.       Menghindari dari pemborosan sumber-sumber daya baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam.
d.      Sebagai alat pengembangan penjaminan kualitas pendidikan.
e.       Sebagai upaya untuk memenuhi dan mewujudkan akuntabilitas lembaga pendidikan.
f.       Mempersiapkan keputusan-keputusan atau alternatif-alternatif kebijaksanaan untuk kegiatan masa depan dalam pembangunan pendidikan.[6]
  1. Jenis-jenis Perencanaan Pendidikan
a.       Menurut besarannya
1.      Perencanaan Makro
Adalah perencanaan yang menetapkan kebijakan-kebijakan yang akan ditempuh, tujuan yang ingin dicapai dan cara-cara mencapai tujuan itu pada yingakt nasional. Rencana pembagunan nasional meliputi rencana pada bidang ekonomi dan sosial.
Dipandang dari sudut perencanaan makro, tujuan yang harus dicapai negara (khususnya dalam bidang peningkatan SDM) adalah pengembangan sistem pendidikan untuk menghasilkan tenaga pembangunan baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Secara kuantitatif pendidikan harus menghasilkan tenaga yang cukup banyak sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Sedangkan secara kualitatif harus dapat menghasilkan tenaga pembanguan yang terampil sesuai dengan bidangnya dan memilik jiwa pancasila. Untuk melaksanakan fungsi perencanaan makro ini, strategi pendidikan hendaknya memenuhi syarat sebagai berikut :
a)      Tujuan pendidikan nasional telah dirumuskan dengan jelas. Tujuan ini dijabarkan menjadi tujuan-tujuan yang lebih spesifik.
b)      Pemerintah memegang peranan utama dalam pengambilan keputusan dan menciptakan mekanisme kerja yang efektif.
c)      Sumber-sumber pembiayaan harus dimobilisasikan dari sektor yang ada.
d)     Prioritas harus disusun, baik yang berkenaan dengan bentuk, tingkat dan jenis pendidikan.
e)      Alokasi biaya harus disediakan menurut prioritas yang telah ditetapkan.
f)       Penilaian yang berkesinambungan harus selalu dilaksanakan dan program direvisi berdasarkan penilaian itu.
g)      Pelaksanaan pendidikan mendapat latihan sesuai dengan tugas yang akan dikerjakannya.
2.      Perencanaan Meso
Kebijaksanaan yang telah ditetapkan pada tingkat makro, kemudian dijabarkan keddalam program-program yang berskala kecil. Pada tingkat ini perencanaan sudah lebih bersifat operasional disesuaikan dengan departemen atau unit-unit.
Pertanyaan yang perlu dijawab dalam perencanaan meso mempunyai kesamaan dengan pertanyaan untuk tingkat makro, tetapi lebih terperinci dan kebebasannya dibatasi oleh apa yang telah ditetapkan dalam perencanaan tingkat makro.
3.      Perencanaan Mikro
Perencanaan mikro diartikan sebagai perencanaan pada tingkat institusional dan merupakan penjabaran dar perencanaan tingkat meso. Contoh perencanaan mikro, yaitu kegian belajar mengajar.
a.       Menurut Tingkatannya
1.      Perencanaan Strategik (Renstra)
Perencanaan strategik  disebut juga dengan perencanaan jangka panjang. Perencanaan strategik digunakan untuk mengatakan suatu lungkup perencanaan yang lebih “general” disamping adanya beberapa jenis perencanaan lain yang disebut Stainer sebagai medium tange programming dan short term budget and detailed fungtional plan.
Dikaitkan dengan permasalahan da bidang pendidikan, konsep perencanaan strategik dapat diterapkan dalam perencanaan pendidikan. Dengan perencanaan strategik, ada kecenderungan diperoleh suatu perumusan program yang lebih oprasional. Berbagai faktor baik internal (organisasi) maupun eksternal (lingkungan) yang berpengaruh pertlu diperhitungkan dalam proses perencanaan ini.
Diperlukan penerapan pendekatan sistem ke dalam perencanaan pendidikan yang strategik, bertujuan untuk mencari bentuk dan identitas pada masa yang akan datang dengan mempertimbangkan berbagai hubungan yang kompleks dalam suatu sistem.
Pendekatan sistem dalam renstra memberi dasar-dasar konseptual dalam perencanaan pendidikan, diharapkan dapat membantu dalam memecahkan masalah kependidikan yang kompleks tersebut.
2.      Perencanaan Koordinatif (managerial)
Perencanaan koordinatif ditujukan untuk mengarahkan jalannya pelaksanaan, sehingga tujuan yang telah ditetapkan itu dapat dicapai secara efektif dan efisien. Perencanaan koordinatif biasanya sudah terperinci dan menggunakan data statistik. Namun demikian, kadang-kadang juga menggunakan pertimbanagan akal sehat.
Perencanaan ini mempunyai cakupan semua aspek operasi suatu sistem yang meminta ditaatinya kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan pada ingkat perencanaan strategik.
3.      Perencanaan Oprasional
Perencanaan ini bersifat spesifik dan berfungsi untuk memberikan petunjuk konkret tentang bagaimana suatu program atau proyek khusus dilaksanakan menurut aturan, prosedur, dan ketentuan lain yang ditetapkan secara jelas sebelummya. Dengan demikian, rencana operasional mudah diukur, peranan keberhasilan unit-unit mudah dibandingkan dan sekaligus dapat dijadikan ukuran keberhasilan. Artinya, rencana oprasional berfungsi sebagai instrumen yang cukup halus dan tajam untuk mengenali keadaan waktu lampau dan bisa atau akan dijadikan alat atau teknik perencanaan berikutnya. [7]
b.      Menurut jangka waktunya
1.      Perencanaan jangka pendek
Perencanaan jangka pendek adalah perencanaan tahunan atau perencanaan yang dibuat untuk dilaksanakan dalam waktu kurang dari 5 tahun, sering disebut sebagai rencana operasional.
2.      Perencanaan jangka menengah
Perencanaan jangka menengah mencangkup kurun waktu pelaksanaan 5-10 tahun. Perencanaan ini penjabaran dari jangka panjang, tetapi sudah lebih bersifat operasional.
3.      Perencanaan jangka panjang
Perencanaan jangka panjang meliputi cakupan waktu di atas 10 tahun samapai dengan 25 tahun. Perencanaan ini memiliki jangka menengah, lebih-lebih lagi jika dibandingkan dengan perencanaan jangkla pendek. Dengan demikian perencanaan tahunan bukan hanya sekedar pembabakan dari rencana 5 tahun, tetapi merupakan penyempurnaan dari rencana itu sendiri.
Kegiatan-kegiatan apakah yang terdapat dalam penyusunan rencana tahunan? secara garis besar jenis kegiatan dan tahapannya meliputi sebagai berikut:
1.    Penyusunan kebijakan umum
2.    Penyusunan kebijakan teknis
3.    Penyusunan rancangan penyesuaian  kebijaksanaan
4.    Penyempurnaan program
5.    Penyusunan uraian kegiatan operasional proyek-proyek (UKOP)
6.    Identifikasi proyek
7.    Penyusunan pra-DUP (Daftar Usulan Proyek)
8.    Penyusunan DUP Depdikbud
9.    Pembahasan DOP, antara Depdikbud, Bapenas dan Departemen Keuangan
10.    Penyusunan UKOP
11.    Penyusunan Pra-DIP (Daftar Isian Proyek)
12.    Pembahasan Pra-DIP, antar Depdikbud, Bappenas, dan Dirjen Anggaran
13.    Penyempurnaan UKOP
14.    Penyeleseian DIP (dari konsep DIP yang telah disetujui).[8]

  1. Prosedur Perencanaan
Setiap kegiatan mempunyai prosedur, yaitu suatu cara yang ditempuh dalam kegiatan itu untuk mencapai apa yang dicita-citaka. Prosedur dalam perencanaan adalah cara yang ditempuh oleh perencana untuk merealisasi usahanya agar dapat terwujud suatu konsep perencanaan. Prosedur perencanaan adalah langkah-langkah yang ditempuh dalam proses perencanaan. Prosedur yang ditempuh oleh setiap perencana pendidikan seringkali bervariasi, tetapi dalam garis besarnya adalah sama.
Prosedur perencanaan pendidikan akan membahas tentang perencanaan partisipatori yaitu suatu perencanaan yang dikerjakan bersama oleh wakil-wakil peminat pendidikan baik dari kalangan lembaga pendidikan maupun dari kalangan masyarakat. Bagian lain yang dibahas adalah tentang ramalan dan pemrogaman (forecasting) dan pengambilan keputusan. Ketiga bagian itu adalah merupakan langkah umum dalam membuat rencana tertentu dalam pendidikan.
1.   Perencanaan partisipatori
Kata partisipatori berasal dari partisipasi yaitu pelibatan seseorang atau beberapa orag dalam suatu kegiatan. Perencanaan partisipatori berarti perencanaan yang melibatkan beberapa orang dalam suatu kegiatan. Perencanaan partisipatori berarti perencanaan yang melibatkan beberapa yang berkepentingan dalam merencanakan sesuatu yang dipertentangkan dengan merencanakan yang hanya dibuat oleh seseorang atau beberapa orang atas dasar wewenang kedudukan , seperti perencana di tingakat pusat kepala-kepala kantor pendidikan di daerah, dan para kepala sekolah. Perencanaan partisipatori banyak melibatkan orang-orang daerah yang memiliki kepentinagn atas objek yang direncanakan.
2.   Ramalan dan pembuatan program (forecasting)
Forecasting mempunyai arti ganda, arti yang pertama adalah ramalan yang terbatas, yaitu apa kira-kira yang akan terjadi di lingkungan organisasi pendidikan pada masa yang akan datang. Atau perubahan apa kira-kira yang akan terjadi dalam masyarakat di lingkungan lembaga pendidikan. Misalnya ramalan tentang peledakkan jumlah penduduk, ramalan tentang pengaruh computer yang pesat memasuki kehidupan manusia, ramalan tentang perubahan hubungan sosial di masyarakat dan sebagainya. Conto-contoh seperti itu dikatakan Forecasting atau ramalan yang terbatas.
Arti Forecasting yang lebih luas atau lebih lengkap adalah di samping meramalkan keadaan perubahan dalam lingkungan organisasi, ia juga meramalkan kegiatan atau program organisasinya yang cocok dengan hasil ramalan terhadap lingkungan. Ia berusaha mengimbangi perubahan-perubahan yang terjadi di luar organisasi dengan perubahan-perubahan pada organisasi. Agar organisasi pendidikan dan masyarakat sejajar, sejalan maju dalam derap yang sama.
Untuk dapat membuat atau meramalkan kegiatan/ program yang tepat dalam lembaga pendidikan dalam usaha menyongsong atau mengantisipasi perubahan lingkungan perlu mengidentifikasi kondisi organisasi yang sekarang. Artinya kekuatan, kemampuan, dan potensi apa saja yang sudah dimiliki oleh organisasi perlu diketahui secara jelas. Begitu pula kelemahan-kelemahan organisasi itu perlu diidentifikasi. Sesudah hasil identifikasi keadaan organisasi pendidikan ini dikaitkan dengan hasil ramalan tentang perubahan lingkungan barulah membuat ramalan tentang perubahan lingkungan barulah membuat ramalan tentang kegiatan/ program untuk mengantisipasi perubahan tersebut.
Jadi forecasting dalam artinya yang lengkap atau luas mempunyai tiga macam kegiatan:
a.       Meramalkan kemungkinan yang akan terjadi pada lingkungan/ masyarakat baik yang dekat maupun yang jauh, yang bertalian dengan kegiatan-kegiatan lembaga pendidikan.
b.      Mengidentifikasi kemampuan, potensi, dan situasi lembaga pendidikan itu sendiri termasuk sumber-sumber pendidikan. Begitu pula kelemahan-kelemahan yang ada dalam organisasi diidentifikasi seluruhnya.
c.       Meramalkan atau membuat program baru untuk menyongsong atau mengantisipasi perubahan lingkungan, agar lembaga pendidikan dan masyarakat/ lingkungan berjalan berimbang sama-sama memberi keuntungan.[9]
3.      Pengambilan keputusan
Setiap kegiatan pendidikan selalui disertai dengan pengambilan keputusan, sebab sebelum diputuskan rencana kegiatan itu tidak boleh dilaksanakan. Yang mengambil keputusan pada umumnya adalah manajer tertinggi atau administrator tertinggi atau tim manajer. Tetapi kegiatan diluar rutin dapat diputuskan oleh pejabat/ orang lain, sebab kegiatan ini biasanya dilakukan oleh suatu panitia. Dalam hal ini ketua panitialah yang memutuskan atas kesepakatan bersama. Kemudian keputusan diserahkan kepada manajer/ para manajer atau administrator pendidikan. Administrator beserta staf atau badan tertentu kemudian mempertimbangkan apakah keputusan panitia ini dapat dilaksanakan dalam kegiatan rutin apa tidak.

E.            Implementasi Perencana pendidikan
Implementasi atau perencanaan pendidikan sendiri merupakan salah satu kebijakan pemerintah yang terkait dengan kebijakan-kebijakan publik lainnya. Fungsi dari setiap keputusan publik juga diintegrasikan dengan keputusan-keputusan lainnya. Proses perencanaan pendidikan di Indonesia diarahkan pada relevansi, efisiensi, dan efektivitas pendidikan, sehinga sasaran pendidikan akan tercapai sesuai dengan tujuan yang telah digariskan. Ini pada awalnya adalah pendekatan perencanaan konvensional..
Hanya saja dalam tataran implementasi, apa yang telah digariskan seringkali berbeda dengan kenyataan di lapangan, sehinga optimalisasi kinerja manajemen pendidikan belum berjalan sesuai harapan. Dalam hal inilah, diperlukan perencanaan strategik yang tanggap terhadap tuntutan perubahan, tanpa melupakan misi, visi, mandat dan nilai-nilai yang telah ditetapkan.
Paradigma perencanaan lama yang bersifat sentralisasi juga telah bergeser dengan lahirnya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 jo No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Undang-undang ini memberi kewenangan yang lebih luas pada provinsi, kabupaten dan kota untuk mengelola daerahnya masing-masing sesuai dengan aspirasi masyarakat dan potensi yang dimilikinya. Dan, tentu juga, agar pemerintah daerah bisa bersikap adaptif dan kreatif terhadap perubahan lingkungan eksternal yang cepat dan dinamis. Dengan digariskannya kebijakan tentang Otonomi Daerah, termasuk di bidang penyelenggaraan pendidikan, maka implikasinya berdampak pada perubahan sistem perencanaan.[10]
Logika dasar dari implementasi adalah bahwa dalam lingkungan dunia yang berubah secara pesat dan tak menentu, suatu organisasi memerlukan kemampuan untuk perubahan perencanaan dan manajemen secara cepat. Maka kemampuan untuk senantiasa melakukan penangkapan lingkungan eksternal dari organisasi, serta upaya terus-menerus untuk senantiasa melakukan penelaahan kemampuan dan kelemahan internal, menjadi prasyarat bagi organisasi untuk tetap strategik dan relevan.
Pada perencanaan konvensional yang merupakan paradigma lama, perencanaan berangkat dari penetapan tujuan jangka panjang. Berdasarkan tujuan tersebut, segenap daya dikelola untuk mencapai tujuan tersebut. Sebaliknya, perencanaan strategik memiliki logika yang berbeda. Justru perencanaan strategik berangkat dari misi, mandat, dan nilai-nilai yang menjadi dasar suatu organisasi untuk berkembang, serta visi organisasi di masa mendatang.
Analisis yang mengaitkan antara misi dan visi, serta perkembangan lingkungan eksternal serta kekuatan dan kelemahan internal ini, akan membawa organisasi menemukan arah menuju yang paling strategik. Dengan begitu, organisasi akan tetap menjadi relevan. Di sisi lain, organisasi juga tidak mungkin menjadi pendukung yang efektif bagi kesejahteraan komunitasnya, kecuali organisasi tersebut meningkatkan kemampuannya untuk berpikir dan bertindak strategik.[11]
IV.            KESIMPULAN
1.      Pengertian perencanaan pendidikan
perencanaan pendidikan adalah suatu usaha melihat ke masa depan dalam hal menentukan kebijaksanaan, prioritas dan biaya pendidikan dengan mempertimbangkan kenyataan-kenyataan yang ada dalam kegiatan ekonomi, sosial dan politik untuk pengembangan potensi sistem pendidikan nasional, memenuhi kebutuhan bangsa dan anak didik yang dilayani oleh sisten tersebut.
2.      Sejarah perkembangan perencanaan pendidikan
Perencanaan pendidikan di Indonesia mengikuti perencanaan pembangunan nasional atau yang lebih di kenala dengan REPELITA kurun waktu antara 1967-1998, dan program pembangunan Ekonomi Nasional 1999-2004, serta Program Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009,
3.      Tujan perencanaan pendidikan
a.       Menyajikan rancangan keputusan-keputusan.
b.      Menyediakan pola kegiatan-kegiatan secara matang.
c.       Mencari kebenaran atas fakta-fakta.
d.      Menentukan tindakan-tindakan yang akan dilakukan dan diorientasikan pada masa depan.
e.       Meyakinkan secara logis dan rasional kepada stake holder pendidikan terhadap pendidikan.
4.      Fungsi perencanaan pendidikan
a.       Sebagai pola dasar dan petunjuk.
b.      Sebagai pedoman pelaksanaan dan pengendalian pelaksanaan pendidikan.
c.       Menghindari dari pemborosan sumber-sumber daya baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam.
d.      Sebagai alat pengembangan penjaminan kualitas pendidikan.
e.       Sebagai upaya untuk memenuhi dan mewujudkan akuntabilitas lembaga pendidikan.
f.       Mempersiapkan keputusan-keputusan atau alternatif-alternatif kebijaksanaan.
5.      Prosedur  perencanaan pendidikan
a.       Perencanaan partisipatori
b.      Ramalan dan pembuatan program (forecasting)
c.       Pengambilan keputusan
6.      Implementasi perencanaan pendidikan
Implementasi atau perencanaan pendidikan sendiri merupakan salah satu kebijakan pemerintah yang terkait dengan kebijakan-kebijakan publik lainnya.



[1] Matin, Perencanaaan Pendidikan, (Jakarta: Pt Raja Grafindo Indonesia, 2013) hal. 1-2
[2] Supardi dan Darwyan Syah, Perencanaan Pendidikan suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Diadit Media, 2010), hal. 2-7
[3] Ibid, hlm 44 - 47
[5] Ibid, hlm 11-12
[6] Ibid, hlm 13-14
[7] Dr. Nanang Fattah, Landasan Menejemen Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosakarya Bandung, 2008), hlm 54-55.
[9] Made Pidarta, Perencanaan Pendidikan Dengan Pendekatan Sistem, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2005), hal.45-46
[10] Bryson dan John M. Perencanaan Strategis Bagi Organisasi Sosial. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2008) hal. 108.
[11] Syamsuddin, Abidin Makmum. Perencanaan Pendidikan: Suatu Pendekatan Komprehensif. (Bandung: Remaja Rosdakarya: 2007), hal. 78-79