Proses
al-Ada’wa Tahammul al-Hadits
I.
PENDAHULUAN
Allah telah memberikan kepada umat Nabi Muhammad
Saw, para pendahulu selalu menjaga Al-Quran dan Al-Hadis Nabi. Mereka adalah orang-orang jujur, amanah, dan memegang
janji sebagian diantara mereka mencurahkan perhatiannya terhadap al-Quran dan
ilmunya yaitu para mufassirin. Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai
macam pengetahuan. Seseorang yang telah mempelajari hadits dengan sungguh-sungguh
dengan cara yang benar memiliki beberapa
kode etik yang harus dia jaga dan dia pelihara, baik ketika masih menjadi
pelajar itu sendiri atau ketika dia sudah mengajarkannya kepada orang lain
kelak. Di
dalam ilmu hadits hal ini dikenal dengan istilah at tahammul wal ada’.
Oleh
karena itu, makalah ini akan membahas tentang al-ada’ wa tahammul al-hadits meliputi proses periwayatan
dan penerimaan hadits, syarat-syarat seorang mutahammil dan seorang
mutaadi, metode periwayatan dan penerimaan hadits, serta komponen – komponen penting yang ada dalam
proses tersebut.
II.
RUMUSAN MASALAH
a.
Apakah arti proses
ada’wa tahammul al-hadits?
b.
Apakah syarat
sebagai seorang mutahammil dan sebagai seorang muaddi?
c. Apakah komponen
– komponen penting dalam proses ada’wa tahammul al-hadits?
d.
Apa saja delapan
metode proses transmisi hadits?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Proses Ada’ Wa Tahammul Al-Hadits
Para
ulama ahli hadits mengistilahkan “menerima dan mendengar suatu periwayatan
hadits dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits”
dengan istilah al-tahammul. Sedang “menyampaikan atau meriwayatkan
hadits kepada orang lain” mereka istilahkan dengan al – ada’.[1]
Jadi, proses ada’ wa tahammul hadits adalah mengkaji
tentang seseorang untuk diperkenankan menerima dan menyimpan sebuah hadits, dan
kepantasan seseorang untuk menyampaikan (meriwayatkan) sebuah hadits.
B.
Syarat
Mutahammil dan Muaddi
1. Syarat
– syarat mutahammil hadits
Adapun
syarat – syarat bagi seseorang diperbolehkan untuk mengutip hadits dari orang
lain adalah Mumayyiz. Makna Mumayyiz adalah:
b.
Bisa membedakan antara berita dan perintah. Dia bisa
memahami perintah dan mampu memberikan jawaban sesuai isi perintah,
c.
Bisa membedakan antara sapi dengan khimar/ keledai.
2. Syarat-syarat muaddi
Semua
ulama hadits, ushul dan fiqh mensyaratkan untuk orang yang dapat kita berhujjah
dengan riwayatnya, baik dia lelaki, ataupun perempuan, syarat-syaratnya adalah:
a.
Muslim
Seseorang
yang beragama islam waktu menyampaikan hadits itu.
b.
Baligh
Artinya,
cukup umur ketika ia meriwayatkan hadits, meskipun ia masih kecil waktu
menerima hadits itu.
c.
Adil
Adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang
menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut, tetap takwa, menjaga kepribadian
dan percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa
besar dan sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah,
tetapi tergolong kurang baik dan selalu menjaga kepribadian.
d.
Dhabit
Yaitu
tepat menangkap apa yang di dengarnya, dan dihafalkannya dengan baik, sehingga
dimana perlu dapat ia mengeluarkan atau menyebutkannya kembali.
e.
Aqil
Adalah seseorang yang mempunyai akal sehat dan tidak
gila.
f.
Terhindar dari syadz dan illat
C.
Komponen
– Komponen Proses Ada’wa Tahammul Al-Hadits
1.
Al-Muaddi
2.
Al-Mutahammil
3.
Matan
4.
Metode
5.
Sighot (simbol atau kalimat periwayatan)
D.
Delapan
Metode Proses Transmisi Hadits
Para
ulama ahli hadits menggolongkan metode menerima suatu periwayatan hadits
menjadi delapan macam, yaitu:
1) Sama’
Maksud
periwayatan hadits dengan cara as-sama’
adalah seorang murid menerima langsung periwayatan gurunya dengan cara
mendengarkan bacaan dari hafalan ataupun tulisan guru.
Dalam
periwayatan bentuk as-sama’,
biasanya seorang guru membacakan haditsnya, sedangkan murid mendengarkan dengan
seksama untuk kemudian menulis apa yang telah ia dengar, atau hanya mendengar
saja untuk kemudian menghafalnya.[2]
Simbolnya yaitu:
a) Ahbarana, Ahbarani
b) Haddasana,
Haddasani
c) Sami’na, Sami’tu.
2)
Qira’ah
Yaitu
periwayatan hadits dengan cara seorang murid membacakan hadits kepada guru.
Periwayatan tersebut biasanya disebut dengan istilah al-arad.
Disebut al-arad,
karena seorang rawi menyuguhkan bacaan haditsnya kepada guru, dan guru
mendengarkan bacaan tersebut. Bisa jadi bacaan tersebut berasal dari hafalan
atau buku perawi, dan sang guru mengikuti bacaan tersebut dengan hafalannya,
memegang kitabnya sendiri, atau memegang kitab orang lain.
Simbolnya yaitu:
a) Qara’tu alaih
b) Quria ala Fulan wa
ana asmau
c) Haddasana au
ahbarana qiraatan alaih.
3)
Ijazah
Yakni
pemberian izin dari seseorang kepada orang lain, untuk meriwayatkan hadits
daripadanya, atau kitab – kitabnya.
Adapun
macam-macam ijazah, yaitu:
a.
Ijazah fi
mu’ayyin li mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin untuk
meriwayatkan suatu hadits tertentu untuk orang tertentu.
b.
Ijazah fi gairi
mu’ayyanin li mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin seseorang
guru kepada seseorang dengan tanpa menentukan apa yang di-ijazah-kan.
c.
Ijazah gairi mu’ayyin
bi gairi mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin seseorang guru
kepada siapa saja (tanpa ditentukan orangnya), dan tidak ditentukan pula apa
yang di-ijazah-kan.
4)
Munawalah
Yakni
seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang
sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan.[3]
Munawalah
ada dua macam, yaitu:
a.
Munawalah yang
disertai dengan ijazah. Misalnya, seorang guru memberikan kitabnya kepada
murid, lalu mengatakan kepadanya, “Riwayatkanlah kitab ini dari saya”. Kemudian
kitab tersebut dibiarkan atau dipinjamkan agar disalin.
b.
Munawalah yang
tidak disertai
dengan ijazah. Misalnya, seorang guru memberikan kitabnya kepada murid dengan
hanya mengatakan, “ini adalah riwayatku,” tanpa diikuti dengan perintah untuk
meriwayatkannya.
5) Mukatabah
Adalah
model periwayatan hadits dengan cara seorang guru menulis sendiri atau menyuruh
orang lain menuliskan riwayatnya untuk diberikan kepada orang yang ada di
hadapannya ataupun yang tidak hadir.
Mukatabah
ada dua macam, yaitu:
a. Mukatabah
al-maqrunah bi al-ijazah, yakni mukatabah yang disertai dengan ijazah.
Misalnya, perkataan guru dengan lafal “Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku
tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya.
b. Mukatabah gairu
al-maqrunah bi al-ijazah, yakni mukatabah yang tidak disertai dengan ijazah.
Misalnya, seorang guru menulis sebagian hadits untuk muridnya dan tulisan itu
dikirimkan kepadanya, tetapi sang murid tidak diperbolehkan untuk
meriwayatkannya.
6) I’lam
Yakni
pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah
riwayatnya sendiri yang diterima dari guru seseorang, dengan tidak mengatakan
(menyuruh) agar si murid meriwayatkannya. Simbolnya yaitu a’lamani fulan qala
haddasana.
7)
Washiyah
Yakni
seorang syaikh ketika mau bersafar, atau diketika ia hampir wafat, berwasiat
kepada seseorang tentang sesuatu kitab yang diriwayatkan oleh syaikh itu.
8) Wijadah
Adalah
model periwayatan hadits dengan cara seorang rawi mendapat tulisan hadits dari
seorang guru, tetapi ia tidak mengenal sang guru tersebut. Haditsnya pun belum pernah didengar
ataupun ditulis oleh si perawi.[4] Simbolnya yaitu qara’tu bikhotti fulan, wajadtu bikhotti
fulan.
IV.
KESIMPULAN
At-Tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah
hadits dari seorang guru dengan metode-metode tertentu. Sedangkan al-ada’ adalah adalah proses untuk menyampaikan dan
meriwayatkan hadits.
Dalam menerima hadits tidak disyaratkan seseorang harus
islam dan baligh. Namun, ketika menyampaikannya disyaratkan harus islam dan
baligh. Maka diterimanya riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya
sebelum masuk islam atau sebelum baligh, dengan syarat seorang penerima hadits (tahammul)
adalah mumayyiz (mampu membedakan haq dan bathil). Sebagian ulama memberikan
batasan minimal berumur lima tahun. Namun, yang benar adalah cukup batasan tamyiz
atau mumayyiz. Jika ia dapat memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan
pendengarannya yang benar, itulah tamyiz atau mumayyiz. Jika tidak memiliki
syarat tersebut maka haditsnya ditolak. Sedangkan syarat kelayakan seorang
penyampai hadits (al-ada’) adalah muslim, baligh, aqil, ‘adalah, dhabit, terhindar
dari syadz dan illat.
Metode – metode untuk meriwayatkan hadits ada delapan, yaitu: as-sama’, al-qira’ah, al-ijazah, al-munawalah, al-mukatabah, al-i’lam, al-washiyah, dan al-wijadah.
Dari beberapa proses penerimaan dan penyampaian hadits di
atas, bisa diambil kesimpulan sebagai berikut. Bahwa jika perawi akan
menceritakan sebuah hadits, maka ia harus memceritakan sesuai dengan redaksi
saat ia menerima hadits tersebut dengan beberapa istilah yang telah banyak
dipakai para ulama hadits.
V.
[1] Drs. Munzier Suparta, MA.:Ilmu Hadits,(Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada,2003),hlm.195
[2]Irham Khumaidi,Ilmu Hadis untuk Pemula,(Jakarta:CV
Artha Rivera,2008),hlm.126
[3] Drs.Fatchur Rahman,Ikhtisar Mushthalahu’l-Hadits,(Bandung:
PT Al – Ma’arif,1995),hlm.215
[4]Irham Khumaidi,Ilmu Hadis untuk Pemula,,(Jakarta:CV
Artha Rivera,2008),hlm.134
0 komentar:
Posting Komentar