I.
PENDAHULUAN
Reformasi
membuka jalan bagi setiap orang untuk menyuarakan keadilan ekonomi, politik,
sosial budaya, dan pelayanan. Pendekatan pembangunan yang sentralistik selama
Orde Baru berkuasa selama 32 tahun ternyata telah banyak menimbulkan kesenjangan
yang menimbulkan rasa ketidakadilan. Kesenjangan tersebut antara lain
pendapatan antardaerah yang besar, kesenjangan investasi antardaerah,
pendapatan daerah yang dikuasai pemerintah pusat, kesenjangan regional, dan
kebijakan investasi yang terpusat. Untuk mengatasi hal tersebut, maka otonomi
daerah merupakan salah satu alternatif untuk memberdayakan setiap daerah dalam
memanfaatkan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) untuk
kesejahteraan masyarakat. Otonomi daerah dianggap dapat menjawab tuntutan
pemerataan pembangunan sosial ekonomi, penyelenggaraan pemerintahan, dan
pembangunan kehidupan berpolitik yang efektif. Sebab dapat menjamin penanganan
tuntutan masyarakat secara variatif dan cepat.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Apa Pengertian Otonomi Daerah ?
B. Bagaimana Tujuan dan Prinsip Otonomi
Daerah ?
C. Bagaimana bentuk dan susunan Pemerintah Daerah?
D. Bagaimana Implementasi Otonomi Daerah ?
E. Apa Kesalahpahaman Masyarakat Terhadap
Otonomi Daerah ?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi
secara sempit diartikan sebagai “mandiri”, sedangkan dalam arti luas adalah
“berdaya”. Jadi otonomi daerah yang dimaksud di sini adalah pemberian
kewenangan pemerintahan kepada pemerintahan daerah untuk secara mandiri atau
berdaya membuat keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
Sedangkan
desentralisasi menurut M. Turner dan D. Hulme adalah transfer atau pemindahan
kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada masyarakat dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sementara desentralisasi menurut
Shahid Javid Burki dan kawan-kawan adalah proses pemindahan kekuasaan politik,
fiskal, dan administratif kepada unit dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah.
Jadi,
otonomi daerah dapat diartikan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah. Dalam pola pikir demikian, otonomi daerah
adalah suatu instrumen politik dan instrumen administrasi/ manajemen yang
digunakan untuk mengoptimalkan sumber daya lokal, sehingga dapat dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kemajuan masyarakat di daerah, terutama menghadapi
tantangan global, mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan kreativitas,
meningkatkan peran serta masyarakat, dan mengembangkan demokrasi.
Pada dasarnya, prinsip otonomi daerah harus
mencerminkan tiga hal, yaitu: harus serasi dengan pimpinan politik dan kesatuan
bangsa, dapat menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah
atas dasar keutuhan Negara kesatuan, harus dapat menjamin perkembangan dan
pembangunana daerah.[1]
B.
Tujuan dan Prinsip Otonomi Daerah
Tujuan dilaksanakannya otonomi daerah menurut pendapat beberapa
ahli adalah sebagai berikut:
1.
Dilihat dari segi politik, penyelengaraan otonomi dimaksudkan untuk
mencegah penumpukan kekuasaan dipusat dan membangun masyarakat yang demokratis,
untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan, dan melatih diri dalam
menggunakan hak-hak demokrasi.
2.
Dilihat dari segi pemerintahan, penyelenggaraan otonomi daerah
adalah untuk mencapai pemerintahan yang efisien.
3.
Dilihat dari segi sosial budaya, penyelenggaraan otonomi daerah
diperlukan agar perhatian lebih focus kepada daerah.
4.
Dilihat dari segi ekonomi, otonomi perlu diadakan agar masyarakat
dapat turut berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi di daerah masing-masing.
Sebagian para ahli pemerintahan juga mengemukakan pendapat lain
tentang alas an perlunya otonomi-desentralisasi, yaitu:
a)
Untuk terciptanya efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan
pemerintahan.
pemerintah
berfungsi mengelola berbagai dimensi kehidupan; seperti ekonomi, pertahanan dan
keamanan, keuangan, politik, dan kesejahteraan masyarakat.
b)
Sebagai sarana pendidikan politik.
Pendidikan
politik pada tingkat lokal sangat bermanfaat bagi warga masyarakat untuk
menentukan pilihan politiknya.
c)
Sebagai persiapan karier politik.
d)
Stabilitas politik.
Pergolakan
di daerah terjadi karena daerah melihat kenyataan kekuasaan pemerintah Jakarta
sangat dominan.
e)
Kesetaraan politik (political equaliti).
Masyarakat
di tingkat lokal, sebagaimana halnya dengan masyarakat dipusat pemerintahan,
akan mempunyai kesempatan yang sama untuk terlibat dalam politik, apakah itu
melalui pemberian suara pada waktu pemilihan kepala desa, bupati, wali kota,
dan bahkan gubernur.
f)
Akuntabilitasi publik.
Demokrasi
memberikan ruang dan peluang kepada masyarakat di daerah untuk berpartisipasi
dalam segala bentuk kegiatan penyelenggaraan Negara.[2]
C.
Bentuk dan Susunan Pemerintah Daerah
Di daerah dibentuk DPRD sebagai badan Legislatif Daerah dan
Pemerintah Daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah. Pemerintah Daerah terdiri
atas Kepala Daerah beserta perangkat daerah lainnya. DPRD sebagai lembaga
perwakilan rakyat di daerah merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi
berdasarkan Pancasila. DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan
sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah.
Pasal 40 UU Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 menyatakan, bahwa
DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sementara itu pasal 41 menyatakan, bahwa
DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. DPRD merupakan
lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
Dalam kedudukannya seperti itu, DPRD memiliki fungsi legislasi,
anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi berkaitan dengan pembentukan
peraturan daerah, yang meliputi pembahasan dan memberikan persetujuan terhadap
Raperda, serta hak anggota DPRD untuk mengajukan Raperda. Fungsi anggaran
berkaitan dengan kewenangannya dalam hal anggaran daerah (APBD). Sedangkan
fungsi pengawasan berkaitan dengan kewenangan mengontrol pelaksanaan Perda dan
peraturan lainnya serta kebijakan pemerintah daerah. Bagaimana cara pemilihan
anggota DPRD? Dalam pasal 18 ayat (3) UUD 1945 ditegaskan, bahwa ”pemerintah
daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang anggotaanggotanya dipilih melalui pemilihan umum”. Pemilihan umum
untuk memilih anggota DPRD waktu pelaksanaannya bersamaan dengan pemilihan umum
untuk anggota DPR dan DPD.
a.
Tugas
dan Wewenang DPRD
Adapun tugas dan wewenang DPRD sebagaimana
diatur dalam pasal 42 UU Republik Indonesia nomor 32 Tahun 2004 adalah sebagai
berikut:
membentuk Peraturan Daerah yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama.
membentuk Peraturan Daerah yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama.
a.
membahas dan menyetujui rancangan Peraturan
Daerah tentang APBD bersama dengan Kepala Daerah.
b.
melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD,
kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan
kerjasama internasional di daerah.
c.
mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian
Gubernur/Wakil kepala daerah/wakil kepala daerah kepada Presiden melalui
Menteri Dalam Negeri bagi DPRD Propinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui
Gubernur bagi DPR kabupaten/kota.
d.
memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi
kekosongan jabatan wakil kepala daerah.
e.
memberikan pendapat dan pertimbangan kepada
pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah.
f.
memberikan persetujuan terhadap rencana
kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
g.
menerima laporan keterangan pertanggungjawaban
kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
h.
membentuk panitia pengawas pemilihan kepala
daerah.
i.
melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD
dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.
j.
memberikan persetujuan terhadap rencana
kerjasama antar daerah dan dengan pihak ketiga yangmembebani masyarakat dan
daerah.
b.
Hak
DPRD
Selain itu DPRD juga mempunyai hak-hak sebagaimana
diatur dalam Pasal 43 UU Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004, yaitu hak
interpelasi, angket dan menyatakan pendapat. Pelaksanaan hak angket sebagaimana
dimaksud di atas adalah dilakukan setelah diajukan hak interpelasi dan mendapat
persetujuan dari Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya ¾ (tiga
perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan
sekurang-kurangnya 2⁄3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir. Dalam
melaksanakan hak angket dibentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur
fraksi DPRD yang bekerja dalam waktu paling lama 60 hari telah menyampaikan
hasil kerjanya kepada DPRD.
c.
Hak
Anggota DPRD
Selain DPRD sebagai lembaga yang mempunyai
berbagai hak, maka anggota DPRD juga mempunyai hak-hak sebagaimana diatur dalam
Pasal 44 UU Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004, yaitu mengajukan rancangan
Peraturan Daerah; mengajukan pertanyaan; menyampaikan usul dan pendapat;
memilih dan dipilih; membela diri; imunitas; protokoler dan keuangan serta
administratif.
d. Kepala Daerah
Dilihat dari susunannya, pada pemerintahan
daerah terdapat dua lembaga yaitu Pemerintah Daerah dan DPRD. Pemerintah daerah
provinsi dipimpin oleh Gubernur, sedangkan pemerintah daerah kabupaten/ kota
dipimpin oleh Bupati/Walikota. Gubernur/Bupati/Walikota yang biasa disebut
Kepala Daerah memiliki kedudukan yang sederajat dan seimbang dengan DPRD
masing-masing daerah.
Kepala Daerah dan DPRD memiliki tugas/wewenang
dan mekanisme pemilihan yang berbeda. Kepala Daerah memiliki tugas dan wewenang
sebagai berikut:
a.
memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah
berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD.
b.
mengajukan rancangan Peraturan Daerah.
c.
menetapkan Peraturan daerah yang telah mendapat
persetujuan bersama DPRD.
d.
menyusun dan mengajukan rancangan Peraturan
daerah tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama.
e.
mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah.
f.
mewakili daerahnya di dalam dan di luar
pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan
peraturan perundangundangan.
g. melaksanakan
tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Setiap Daerah dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif yang dibantu oleh Wakil Kepala Daerah. Kepala Daerah Provinsi disebut Gubernur, yang karena jabatannya adalah juga sebagai Wakil Pemerintah. Sebagai Kepala Daerah, Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD, sebagai Wakil Pemerintah, Gubernur berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kepala Daerah Kabupaten disebut Bupati, sedangkan Daerah Kota disebut Walikota yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya selaku Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD Kabupaten/ Kota.
Setiap Daerah dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif yang dibantu oleh Wakil Kepala Daerah. Kepala Daerah Provinsi disebut Gubernur, yang karena jabatannya adalah juga sebagai Wakil Pemerintah. Sebagai Kepala Daerah, Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD, sebagai Wakil Pemerintah, Gubernur berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kepala Daerah Kabupaten disebut Bupati, sedangkan Daerah Kota disebut Walikota yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya selaku Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD Kabupaten/ Kota.
e. Keuangan Daerah
Sumber-sumber keuangan daerah dalam pelaksanaan
desentralisasi adalah:
Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan,
Pinjaman Daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah. Sumber Pendapatan Asli
Daerah (PAD) terdiri atas Hasil Pajak Daerah, Hasil Restribusi Daerah, Hasil
Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah lainnya yang
dipisahkan serta lain lain pendapatan daerah yang sah. Dana Perimbangan terdiri
atas bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan, dan Penerimaan dari sumber daya alam, Dana Alokasi
Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Penerimaan Negara dari Pajak Bumi dan
Bangunan dibagi dengan imbangan 10% untuk Pemerintah Pusat dan 90% untuk
Daerah. Penerimaan Negara dari Bea Perolehan Hak atas tanah dan Bangunan dibagi
dengan imbangan 20% untuk Pemerintah Pusat dan 80% untuk Daerah. Sebesar 10%
dari penerimaan PBB dan 20% dari penerimaan Bea Perolehan hak atas tanah dan
bangunan dibagikan kepada seluruh kabupaten dan kota.
Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor
kehutanan, sektor pertambangan umum dan sektor perikanan dibagi dengan imbangan
20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk Daerah. Sedangkan penerimaan negara
dari pertambangan minyak setelah dikurangi pajak dibagi dengan imbangan 85%
untuk pemerintah pusat dan 15% untuk pemerintah daerah. Sementara itu
penerimaan negara dari sektor gas alam setelah dikurangi pajak dibagikan dengan
imbangan 70% untuk Pemerintah Pusat dan 30% untuk Daerah.[3]
D.
Implementasi Otonomi Daerah
Implementasi
otonomi daerah bagi tingkat 1 dan tingkat 2, seiring dengan pelimpahan wewenang
pemerintah pusat dapat dikelompokan dalam lima bidang yaitu implementasi dalam
pembinaan wilayah, pembinaan sunber daya manusia, penanggulangan dan percepatan
penurunan kemiskinan, penataan hubungan fungsional antara DPRD dan pemerintah
daerah, serta peningkatan koordinasi atau kerja sama tim (team work).
1. Implementasi otonomi daerah dalam
pembinaan wilayah
a.
Pelaksanaa
otonomi daerah tidak secara otomatis menghilangkan tugas, peran, dan tanggung
jawab pemerintahan pusat, karena otonomi yang dijalankan bukan otonomi terbatas
b.
Pola
pembinaan wilayah dilaksanakan dengan mendelegasikan tugas-tugas pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah dilaksanakan, dan dipertanggung jawabkan oleh pemerintah
daerah.
c.
Tugas
dan fungsi pembinaan wilayah meliputi prinsip pemerintahan umum, yaitu
penyelenggaraan pemerintahan pusat didaerah, memfasilitasi dan mengakomodasi
kebijakan daerah, menjaga keselarasan pemerintah pusat dan daerah, menciptakan
ketentraman dan ketertiban umum, menjaga tertibnya hubungan lintas batas dan
kepastian batas wilayah, menyelenggarakan kewenangan daerah, dan
menjalankan kewengana lain.
d.
Pejabat
Pembina wilayah dilaksanakan oleh kepala daerah yang menjalankan dua macam
urusan pemerintahan, yaitu urusan daerah dan urusan pemerintahan umum.
2. Implementasi otonomi daerah dalam
pembinaan sumber daya manusia
a. Pelaksanaan otonomi daerah memberikan
wewenang pembinaan sumber daya manusia kepada daerah. Hal ini menjadi tugas
berat bagi bagi daerah, karena SDM pada umumnya mempunyai tingkat kompetensi,
sikap, dan tingkah laku yang tidak maksimal.
b. Dalam era otonomi, daerah harus
mempersiapkan SDM untuk memenuhi kebutuhan dengan prinsip keterbukaan dan
akuntabilitas.
c. Untuk menunjang kinerja daerah dalam
rangka kerja sama antar daerah dan pusat, pemda membutuhkan SDM yang mempunyai
kemampuan mengembangkan jaringan dan kerja sama tim, dan mempunyai kualitas
kerja yang tinggi.
d. Untuk pembinaan SDM, pemda diharapkan:
(1) membuat struktur organisasi yang terbuka, (2) menyediakan media untuk PNS
berjreatif dan membuat terobosan baru, (4) memberikan penghargaan bagi yang
berjasil, (5) mengembangkan pola komunikasi yang efektif anatr PNS, (6)
membangun suasana kerja di PNS yang inovatif, (7) mengurangi hambatan
birokrasi, (8) mencegah tindakan intervensi yang mengganggu proses kerja
professional, dan (9) mendelegasikan tanggung jawab dengan baik.
e. Memperbaiki cara kerja birokrasi dengan
cara memberikan teladan, membuat perencanaan, melaksanakan kerja denagan
pengawasan yang memadai, menentukan prioritas, memecahkan masalah dengan
inovatif, melakukan komunikasi lisa dan tulisan, melakukan hubungan
antarpribadi, dan memperhatikan waktu kehadiran dan kretivitas.
f. Mengurangi penyimpangan pelayanan
birokrasi.
3. Implementasi otonomi daerah dalam
penanggulangan kemiskinan
a. Masalah kemiskinan merupakan masalah
penting bagi pemerintah daerah. Otonomi memberikan kewenangan kepada daerah
untuk mengelola sumber daya dengan tujuan peningkatan kesejahteraan penduduk di
wilayahnya.
b. Pengentasan kemiskinan menjadi tugas
penting dari UU nomor 25 tahun 1999, dimana pemda mempunyai wewenang luas, dan
didukung dana yang cukup dari APBD.
c. Program penanggulangan kemiskinan harus
dilakukan terpadu berdasarkan karakter penduduk dan wilayah , dengan melakukan
koordinasi antar instansi yang terkait.
d. Pembangunan dalam rangka penanggulangan
kemiskinan harus mengedepankan peran masyarakat dan sektor swasta, dengan
melakukan investasi yang dapat menyerap tenaga kerja dan pasar bagi penduduk
miskin.
e. Membangun paradigm baru tentang peran
pemda, yaitu dari pelaksana menjadi fasilitator, memberikan instruksi menjadi
melayani, mengatur menjadi memberdayakan masyarakat, bekerja memenuhi aturan
menjadi bekerja untuk mencapai misi pengembangan.
f. Dalam pemberdayaan masyarakat, peranan
pemda adalah memberikan legitimasi kepada LSM dan masyarakat penerima bantuan,
menjadi penengah apabila terjadi konflik, mendorong peningkatan kemampuan keluarga
miskin, turut mengendalikan pembangunan fisik, dan memberikan sosialisasi
gerakan terpadu pengenatasan kemiskinan.
g. Pemda dalam rangka percepatan
penanggulangan kemiskinan dapat mengambil kebijakan keluarga.
4. Implemantasi otonomi daerah dalam
hubungan fungsional eksekutif dan legislative
a. Hubungan eksekutif (pemda) dan
legislatif (DPRD) dalam era otonomi mencuat dengan munculnya ketidakharmonisan
antara pemda dan DPRD.
b. Ketidakharmonisan harus dipecahkan
dengan semangat otonomi, yaitu pemberian wewenang kepada daerah untuk mengatur
daerahnya dalam menjawab permasalahan rakyat, yang meliputi administrasi
pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan public.
c. Asas dalam otonomi menurut UU no. 22
tahun 1999 adalah: (1) penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah, kecuali dalam bidang hankam, luar negeri, pradilan, agama, moneter, dan
fiscal, (2) pelimpahan wewenang pusat kepada gubernur sebagai wakil
pemerintahan pusat didaerah, dan (3) pembantuan yaitu penugasan pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai
pembiayaan, sarana dan prasarana, serta SDM, dengan kewajiban melaporkan
pelaksanaan dan pertanggungjawaban kepada pemerintah pusat.
d. Kepala daerah mempunyai wewenang:
memimpin penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan DPRD,
bertanggungjawab kepada DPRD, dan menyampaikan laporan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada
presiden melalui mendagri, minimal satu tahun sekali melalui gubernur.
e. DPRD dalam era otonomi mempunyai wewenang dan tugas: memilih
gubernur/ wakil gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/ wakil walikota,
membentuk peraturan daerah, menetapkan anggaran pendapat belanja daerah,
melaksanakan pengawasan, memberikan saran pertimbangan terhadap perjanjian
internasional menyangkut kepentingan daerah, serta menampung dan menindak
lanjuti aspirasi masyarakat.
f. Kepala daerah dan DPRD dalam melakukan
tugasnya dapat melakukan komunikasi intensif, baik untuk tukar-menukar
informasi, dan pengembangan regulasi maupun klarifikasi suatu masalah.
g. Prinsip kerja dalam dalam hubungan
antara DPRD dan Kepala Daerah adalah: proses pembuatan kebijakan transparan,
pelaksanan kerja melalui mekanisme akuntabilitas, bekerja berdasarkan susduk,
yang mencakup kebijakan, prosedur dan tata kerja, menjalankan prinsip kompromi,
dan menjunjung tinggi etika.
5. Implementasi otonomi daerah dalam
membangun kerja sama tim
a. Koordinasi merupakan masalah yang serius
dalam pemerintah daerah. Sering bongkar dan pasang sarana dan prasarana seperi
PAM, PLN, dan Telkom menunjukkan lemahnya koordinasi selama ini .
b. Dalam rangka otonomi, dimana pemda
mempunyai wewenang mengatur selain enam bidang yang diatur pusat, maka pemda
dapat mengatur koordinasi sektor riil seperti transportasi, sarana/ prasarana,
pertanian, dan usha kecil serta wewenang lain yang ditentukan Undang-Undang.
c. Lemahnya koordinasi selam otnomi daerah
telah menimbulkan dampak negative, diantaranya : inefisiensi organisasi
pemborosan uang, tenaga dan alat, lemahnya kepemimpinan koordinasi yang
menyebabkan keputusan tertunda-tunda, tidak tepat dan terjadi kesalahan, serta
tidak terjadi integrasi dan sinkronisasi pembangunan.
d. Penyebab kurangnya koordinasi dalam era
otonomi daerah di pemda anatara lain karena sesame instansi belum mempunyai
visi yang sama, tidak adanya rencana pembangunan jangka panjang yang
menyebabkan arah kebijakan tidak strategis, rendahnya kemauan bekerja sama,
gaya kepemimpinan yang masih komando, rendanya ketrampilan, integritas, dan
percaya diri.
e. Dalam rangka meningkatkan koordinasi,
maka pemerintah daerah harus menciptakan kerja sama tim.[4]
Dalam rangka percepatan implementasi otonomi daerah
sebagaimana yang diamanatkan dalam TAB MPR RI Nomor IV/MPR/1999 dan Nomor
IV/MPR/2000, dipandang perlu membentuk tim kerja pusat implementasi
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang
Nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
daerah, sesuai dengan keputusan Presiden Nomor 157 tahun 2000.
Tim kerja pusat ini mempunyai tugas:
1)
Merumuskan dan menyusun konsep kebijaksanaan srategis pelaksanaan kedua
Undang-Undang, termasuk struktur kelembagaan pemerintah daerah.
2)
Menetapkan pentahapan dan prioritas tindak lanjut pelaksanaan kedua
Undang-Undang.
3)
Memantau dan memfasilitasi penyusunan peraturan pelaksanaan kedua
Undang-Undang yang disiapkan oleh instansi yang terkait.
4)
Melakukan sosialisasi dan konsultasi dalam rangka pelaksanaan kedua
Undang-Undang dan peraturan-peraturan pelaksanaannya.
5)
Memutuskan dan menetapkan langkah-langkah yang perku ditempuh untuk
mempercepat dan memperlancar perwujudan otonomi daerah.
6)
Melaporkan hasil pelaksanaan tugas kepada Presiden secara berlaku atau
sewaktu-waktu apabila diperlukan.[5]
E.
Kesalahpahaman Masyarakat Terhadap Otonomi Daerah
Otonomi Daerah diharapkan dapat menjadi salah satu pilihan
kebijakan nasional yang dapat mencegah kemungkinan terjadinya disintegrasi
nasional. Otonomi daerah juga merupakan sarana kebijakan yang secara politik
ditempuh dalam rangka memelihara keutuhan “Negara Bangsa”. Karena dengan
otonominakan kembali memperkuat ikatan semangat kebangsaan serta persatuan dan
kesatuan di antara segenap warga bangsa ini.
Namun, implementasi sebuah kebijakan bukanlah hal yang sederhana,
karena implementasi menyangkut dimensi interpretasi, organisasi, dan dukungan
sumber daya yang ada. Karena itu kemudian muncul berbagai kesalahan dalam
memberikan interpretasi terhadap kebijakan otonomi daerah karena terbatasnya
pemahaman umum tentang pemerintahan daerah, ataupun juga karena argumentasi-argumentasi
yang diajukan lebih merupakan argumentasi politik ketimbang argumentasi
keilmuan.
Beberapa salah paham yang muncul dari berbagai kelompok masyarakat
terkait dengan kebijakan dan implementasi otonomi daerah sebagai berikut:
1.
Otonomi dikaitkan semata-mata dengan uang. Sudah sangat lama
berkembang dalam masyarakat suatu pemahaman yang keliru terhadap otonomi
daerah, yaitu untuk berotonomi daerah harus mencukupi sendiri segala
kebutuhannya, terutama dalam bidang keuangan. Tidak ada yang menafikan bahwa
uang memang merupakan sesuatu yang mutlak, namun uang bukan satu-satunya alat dalam
menggerakkan roda pemerintahan. Kata kunci dari otonomi daerah adalah
“kewenangan”. Dengan kewenangan uang akan dapat dicari , dan dengan uang itu
pula pemerintah, termasuk pemerintah daerah, harus mampu menggunakan uang
dengan bijaksana, tepat guna dan berorientasi kepada kepentingan masyarakat.
2. Daerah belum
siap dan belum mampu. Munculnya pandangan itu merupakan cara berpikir yang
salah. Karena sebelum otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang No. 22 tahun
1999 jo, Undang-Undang No. 32 tahun
2004 diterapkan, pemberian tugas kepada pemeribtah daerah belum diikuti dengan
pelimpahan kewenangan dalam mencari uang dan subsidi dari pemerintah pusat.
Begitu juga tidak ada alasan untuk tidak siap dan tidak mampu karena pemerintah
daerah sudah terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam waktu yang sudah
sangat lama dan berpengalaman dalam administrasi pemerintahan.
3. Dengan otonomi
daerah maka pusat akan melepaskan tanggung jawabnya untuk membantu dan membina
daerah. Pendapat ini sama sekali tidak benar. Tetap menjadi tugas dan tanggung
jawab pemerintah pusat untuk memberi dukungan dan bantuan kepada daerah, baik
berupa bimbingan teknis penyelenggaraan pemerintahan kepada personil yang ada
di daerah, ataupun berupa dukungan keuangan. Hal itu sama sekali tidak mengurangi
makna otonomi daerah dalam kerangka negara kesatuan.
4. Dengan otonomi
maka daerah bisa melakukan apa saja. Hakikat otonomi pemberian kewenangan
keadaan pemerintah daerah untuk kreatif dan inovatif dalam rangka memperkuat
kesatuan dan kesatuan RI dengan berlandaskan norma kepatutan dan kewajaran
dalam sebuah tata kehidupan bernegara. Daerah dapat menempuh segala bentuk
kebijakan apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan
undang-undang yang berlaku secara nasional.
Di samping itu, kepentingan masyarakat merupakan patokan yang paling
utama dalam mengambil kebijakan. Bukan sebaliknya pemerintah daerah mengambil
langkah kebijakan dengan mengabaikan berbagai aturan dan norma yang berlaku.
5. Otonomi daerah
akan menciptakan raja-raja kecil di daerah dan memindahkan korupsi ke daerah.
Pendapat seperti ini dapat dibenarkan kalau para penyelenggara pemerintah
daerah, masyarakat dan dunia usaha di daerah menempatkan diri dalam kerangka
sistem politik lama yaitu korupsi, kolusi, nepotisme, dan segala bentuk
penyalah-gunaan kekuasaan yang lainnya. Karenanya untuk menghindari pandangan
tersebut, pilar-pilar penegakan demokrasi dan masyarakat madani (civil society) seperti Partai Politik,
Media Massa, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, Kejaksaan,
termasuk LSM, dan lain-lainnya pada tingkat lokal dapat memainkan perannya
secara optimal.[6]
IV.
KESIMPULAN
Otonomi
daerah sebagai kerangka penyelenggaraan pemerintahan mempunyai visi yang dapat
dirumuskan dalam tiga ruang lingkup utama yang saling berhubungan satu dengan
yang lainnya: politik, ekonomi, sosial dan budaya. Di bidang politik dipahami
sebagai proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah
yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya pemerintahan yang
responsif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme
pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik.
Selanjutnya, di bidang ekonomi mengandung makna bahwa otonomi daerah menjamin
lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, di pihak lain
mendorong terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembalikan kebijakan
lokal kedaerahan untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi do
daerahnya. Sedangkan di bidang sosial dan budaya memelihara dan mengembangkan
nilai, tradisi, karya seni, karya cipta, bahasa dan karya sastra lokal yang
dipandang kondusif dalam mendorong masyarakat untuk merespon positif dinamika
kehidupan di sekitarnya dan kehidupan global.
Otonomi
daerah yang ditetapkan di Indonesia sangat luas, nyata dan bertanggung jawab.
Disebut luas karena kewenangan sisa justru berada pada pemerintah pusat.
disebut nyata karena kewenangan yang diselenggarakan itu menyangkut yang
diperlukan, tumbuh dan hidup, dan berkembang di daerah. Dan disebut bertanggung
jawab karena kewenangan yang diserahkan itu harus diselenggarakan demi
pencapaian tujuan otonomi daerah, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan
pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan
antar daerah.
[1]
Agussalim Andi
Gadjong, Pemerintahanan Daerah, (Bogor: Galia Indonesia, 2007), hlm.
110.
[2]
Srijanti, dkk, pendidikan
Kewarganegaraan untuk mahasiswa, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009) hlm.
179-180.
[3] http://asefts63.wordpress.com/materi-pelajaran/pkn-kls-9/pelaksanaan-otonomi-daerah/.Diunduh tanggal 16
Desember 2013. Jam 09.25 WIB.
[4]
Srijanti, dkk, Pendidikan
Kewarganegaraan untuk mahasiswa, (Yogyakarta:Graha Ilmu, 2009), hlm186-191
[5]
Widjaja, Otonomi
Daerah dan Daerah Otonom, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 8-9.
[6] A.
Ubaedillah dan Abdul Rozak. Demokrasi,
Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. (Jakarta: ICCE, 2007) hlm.
196-199.
0 komentar:
Posting Komentar