RSS

Otonomi Daerah

I.                   PENDAHULUAN
Reformasi membuka jalan bagi setiap orang untuk menyuarakan keadilan ekonomi, politik, sosial budaya, dan pelayanan. Pendekatan pembangunan yang sentralistik selama Orde Baru berkuasa selama 32 tahun ternyata telah banyak menimbulkan kesenjangan yang menimbulkan rasa ketidakadilan. Kesenjangan tersebut antara lain pendapatan antardaerah yang besar, kesenjangan investasi antardaerah, pendapatan daerah yang dikuasai pemerintah pusat, kesenjangan regional, dan kebijakan investasi yang terpusat. Untuk mengatasi hal tersebut, maka otonomi daerah merupakan salah satu alternatif untuk memberdayakan setiap daerah dalam memanfaatkan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) untuk kesejahteraan masyarakat. Otonomi daerah dianggap dapat menjawab tuntutan pemerataan pembangunan sosial ekonomi, penyelenggaraan pemerintahan, dan pembangunan kehidupan berpolitik yang efektif. Sebab dapat menjamin penanganan tuntutan masyarakat secara variatif dan cepat.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Apa Pengertian Otonomi Daerah ?
B.     Bagaimana Tujuan dan Prinsip Otonomi Daerah ?
C.     Bagaimana bentuk dan susunan Pemerintah Daerah?
D.    Bagaimana Implementasi Otonomi Daerah ?
E.     Apa Kesalahpahaman Masyarakat Terhadap Otonomi Daerah ?

III.             PEMBAHASAN
A.    Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi secara sempit diartikan sebagai “mandiri”, sedangkan dalam arti luas adalah “berdaya”. Jadi otonomi daerah yang dimaksud di sini adalah pemberian kewenangan pemerintahan kepada pemerintahan daerah untuk secara mandiri atau berdaya membuat keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
Sedangkan desentralisasi menurut M. Turner dan D. Hulme adalah transfer atau pemindahan kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada masyarakat dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sementara desentralisasi menurut Shahid Javid Burki dan kawan-kawan adalah proses pemindahan kekuasaan politik, fiskal, dan administratif kepada unit dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Jadi, otonomi daerah dapat diartikan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam pola pikir demikian, otonomi daerah adalah suatu instrumen politik dan instrumen administrasi/ manajemen yang digunakan untuk mengoptimalkan sumber daya lokal, sehingga dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemajuan masyarakat di daerah, terutama menghadapi tantangan global, mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, dan mengembangkan demokrasi.
Pada dasarnya, prinsip otonomi daerah harus mencerminkan tiga hal, yaitu: harus serasi dengan pimpinan politik dan kesatuan bangsa, dapat menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah atas dasar keutuhan Negara kesatuan, harus dapat menjamin perkembangan dan pembangunana daerah.[1]

B.     Tujuan dan Prinsip Otonomi Daerah
Tujuan dilaksanakannya otonomi daerah menurut pendapat beberapa ahli adalah sebagai berikut:
1.   Dilihat dari segi politik, penyelengaraan otonomi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan dipusat dan membangun masyarakat yang demokratis, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan, dan melatih diri dalam menggunakan hak-hak demokrasi.
2.   Dilihat dari segi pemerintahan, penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk mencapai pemerintahan yang efisien.
3.   Dilihat dari segi sosial budaya, penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan agar perhatian lebih focus kepada daerah.
4.   Dilihat dari segi ekonomi, otonomi perlu diadakan agar masyarakat dapat turut berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi di daerah masing-masing.
Sebagian para ahli pemerintahan juga mengemukakan pendapat lain tentang alas an perlunya otonomi-desentralisasi, yaitu:
a)   Untuk terciptanya efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan.
pemerintah berfungsi mengelola berbagai dimensi kehidupan; seperti ekonomi, pertahanan dan keamanan, keuangan, politik, dan kesejahteraan masyarakat.
b)   Sebagai sarana pendidikan politik.
Pendidikan politik pada tingkat lokal sangat bermanfaat bagi warga masyarakat untuk menentukan pilihan politiknya.
c)   Sebagai persiapan karier politik.
d)  Stabilitas politik.
Pergolakan di daerah terjadi karena daerah melihat kenyataan kekuasaan pemerintah Jakarta sangat dominan.
e)   Kesetaraan politik (political equaliti).
Masyarakat di tingkat lokal, sebagaimana halnya dengan masyarakat dipusat pemerintahan, akan mempunyai kesempatan yang sama untuk terlibat dalam politik, apakah itu melalui pemberian suara pada waktu pemilihan kepala desa, bupati, wali kota, dan bahkan gubernur. 
f)    Akuntabilitasi publik.
Demokrasi memberikan ruang dan peluang kepada masyarakat di daerah untuk berpartisipasi dalam segala bentuk kegiatan penyelenggaraan Negara.[2]

C.    Bentuk dan Susunan Pemerintah Daerah
Di daerah dibentuk DPRD sebagai badan Legislatif Daerah dan Pemerintah Daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah. Pemerintah Daerah terdiri atas Kepala Daerah beserta perangkat daerah lainnya. DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila. DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah.
Pasal 40 UU Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 menyatakan, bahwa DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sementara itu pasal 41 menyatakan, bahwa DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Dalam kedudukannya seperti itu, DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi berkaitan dengan pembentukan peraturan daerah, yang meliputi pembahasan dan memberikan persetujuan terhadap Raperda, serta hak anggota DPRD untuk mengajukan Raperda. Fungsi anggaran berkaitan dengan kewenangannya dalam hal anggaran daerah (APBD). Sedangkan fungsi pengawasan berkaitan dengan kewenangan mengontrol pelaksanaan Perda dan peraturan lainnya serta kebijakan pemerintah daerah. Bagaimana cara pemilihan anggota DPRD? Dalam pasal 18 ayat (3) UUD 1945 ditegaskan, bahwa ”pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotaanggotanya dipilih melalui pemilihan umum”. Pemilihan umum untuk memilih anggota DPRD waktu pelaksanaannya bersamaan dengan pemilihan umum untuk anggota DPR dan DPD.
a.       Tugas dan Wewenang DPRD
Adapun tugas dan wewenang DPRD sebagaimana diatur dalam pasal 42 UU Republik Indonesia nomor 32 Tahun 2004 adalah sebagai berikut:
membentuk Peraturan Daerah yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama.
a.       membahas dan menyetujui rancangan Peraturan Daerah tentang APBD bersama dengan Kepala Daerah.
b.      melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah.
c.       mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/Wakil kepala daerah/wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD Propinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPR kabupaten/kota.
d.      memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah.
e.       memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah.
f.       memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
g.      menerima laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
h.      membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah.
i.        melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.
j.        memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama antar daerah dan dengan pihak ketiga yangmembebani masyarakat dan daerah.

b.      Hak DPRD
Selain itu DPRD juga mempunyai hak-hak sebagaimana diatur dalam Pasal 43 UU Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004, yaitu hak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat. Pelaksanaan hak angket sebagaimana dimaksud di atas adalah dilakukan setelah diajukan hak interpelasi dan mendapat persetujuan dari Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2⁄3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir. Dalam melaksanakan hak angket dibentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD yang bekerja dalam waktu paling lama 60 hari telah menyampaikan hasil kerjanya kepada DPRD.

c.       Hak Anggota DPRD
Selain DPRD sebagai lembaga yang mempunyai berbagai hak, maka anggota DPRD juga mempunyai hak-hak sebagaimana diatur dalam Pasal 44 UU Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004, yaitu mengajukan rancangan Peraturan Daerah; mengajukan pertanyaan; menyampaikan usul dan pendapat; memilih dan dipilih; membela diri; imunitas; protokoler dan keuangan serta administratif.



d.      Kepala Daerah 
Dilihat dari susunannya, pada pemerintahan daerah terdapat dua lembaga yaitu Pemerintah Daerah dan DPRD. Pemerintah daerah provinsi dipimpin oleh Gubernur, sedangkan pemerintah daerah kabupaten/ kota dipimpin oleh Bupati/Walikota. Gubernur/Bupati/Walikota yang biasa disebut Kepala Daerah memiliki kedudukan yang sederajat dan seimbang dengan DPRD masing-masing daerah.
Kepala Daerah dan DPRD memiliki tugas/wewenang dan mekanisme pemilihan yang berbeda. Kepala Daerah memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut:
a.       memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD.
b.      mengajukan rancangan Peraturan Daerah.
c.       menetapkan Peraturan daerah yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD.
d.      menyusun dan mengajukan rancangan Peraturan daerah tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama.
e.       mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah.
f.       mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan.
g.      melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
             Setiap Daerah dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif yang dibantu oleh Wakil Kepala Daerah. Kepala Daerah Provinsi disebut Gubernur, yang karena jabatannya adalah juga sebagai Wakil Pemerintah. Sebagai Kepala Daerah, Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD, sebagai Wakil Pemerintah, Gubernur berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kepala Daerah Kabupaten disebut Bupati, sedangkan Daerah Kota disebut Walikota yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya selaku Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD Kabupaten/ Kota.


e.       Keuangan Daerah 
Sumber-sumber keuangan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi adalah:
Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah. Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri atas Hasil Pajak Daerah, Hasil Restribusi Daerah, Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan serta lain lain pendapatan daerah yang sah. Dana Perimbangan terdiri atas bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Penerimaan dari sumber daya alam, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Penerimaan Negara dari Pajak Bumi dan Bangunan dibagi dengan imbangan 10% untuk Pemerintah Pusat dan 90% untuk Daerah. Penerimaan Negara dari Bea Perolehan Hak atas tanah dan Bangunan dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah Pusat dan 80% untuk Daerah. Sebesar 10% dari penerimaan PBB dan 20% dari penerimaan Bea Perolehan hak atas tanah dan bangunan dibagikan kepada seluruh kabupaten dan kota.
Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, sektor pertambangan umum dan sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk Daerah. Sedangkan penerimaan negara dari pertambangan minyak setelah dikurangi pajak dibagi dengan imbangan 85% untuk pemerintah pusat dan 15% untuk pemerintah daerah. Sementara itu penerimaan negara dari sektor gas alam setelah dikurangi pajak dibagikan dengan imbangan 70% untuk Pemerintah Pusat dan 30% untuk Daerah.[3]

D.    Implementasi Otonomi Daerah
Implementasi otonomi daerah bagi tingkat 1 dan tingkat 2, seiring dengan pelimpahan wewenang pemerintah pusat dapat dikelompokan dalam lima bidang yaitu implementasi dalam pembinaan wilayah, pembinaan sunber daya manusia, penanggulangan dan percepatan penurunan kemiskinan, penataan hubungan fungsional antara DPRD dan pemerintah daerah, serta peningkatan koordinasi atau kerja sama tim (team work).
1.   Implementasi otonomi daerah dalam pembinaan wilayah
a.    Pelaksanaa otonomi daerah tidak secara otomatis menghilangkan tugas, peran, dan tanggung jawab pemerintahan pusat, karena otonomi yang dijalankan bukan otonomi terbatas
b.    Pola pembinaan wilayah dilaksanakan dengan mendelegasikan  tugas-tugas pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dilaksanakan, dan dipertanggung jawabkan oleh pemerintah daerah.
c.    Tugas dan fungsi pembinaan wilayah meliputi prinsip pemerintahan umum, yaitu penyelenggaraan pemerintahan pusat didaerah, memfasilitasi dan mengakomodasi kebijakan daerah, menjaga keselarasan pemerintah pusat dan daerah, menciptakan ketentraman dan ketertiban umum, menjaga tertibnya hubungan lintas batas dan kepastian batas wilayah, menyelenggarakan kewenangan daerah, dan menjalankan  kewengana lain.
d.   Pejabat Pembina wilayah dilaksanakan oleh kepala daerah yang menjalankan dua macam urusan pemerintahan, yaitu urusan daerah dan urusan pemerintahan umum.
2.   Implementasi otonomi daerah dalam pembinaan sumber daya manusia
a.    Pelaksanaan otonomi daerah memberikan wewenang pembinaan sumber daya manusia kepada daerah. Hal ini menjadi tugas berat bagi bagi daerah, karena SDM pada umumnya mempunyai tingkat kompetensi, sikap, dan tingkah laku yang tidak maksimal.
b.    Dalam era otonomi, daerah harus mempersiapkan SDM untuk memenuhi kebutuhan dengan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas.
c.    Untuk menunjang kinerja daerah dalam rangka kerja sama antar daerah dan pusat, pemda membutuhkan SDM yang mempunyai kemampuan mengembangkan jaringan dan kerja sama tim, dan mempunyai kualitas kerja yang tinggi.
d.   Untuk pembinaan SDM, pemda diharapkan: (1) membuat struktur organisasi yang terbuka, (2) menyediakan media untuk PNS berjreatif dan membuat terobosan baru, (4) memberikan penghargaan bagi yang berjasil, (5) mengembangkan pola komunikasi yang efektif anatr PNS, (6) membangun suasana kerja di PNS yang inovatif, (7) mengurangi hambatan birokrasi, (8) mencegah tindakan intervensi yang mengganggu proses kerja professional, dan (9) mendelegasikan tanggung jawab dengan baik.
e.    Memperbaiki cara kerja birokrasi dengan cara memberikan teladan, membuat perencanaan, melaksanakan kerja denagan pengawasan yang memadai, menentukan prioritas, memecahkan masalah dengan inovatif, melakukan komunikasi lisa dan tulisan, melakukan hubungan antarpribadi, dan memperhatikan waktu kehadiran dan kretivitas.
f.     Mengurangi penyimpangan pelayanan birokrasi.
3.   Implementasi otonomi daerah dalam penanggulangan kemiskinan
a.    Masalah kemiskinan merupakan masalah penting bagi pemerintah daerah. Otonomi memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola sumber daya dengan tujuan peningkatan kesejahteraan penduduk di wilayahnya.
b.    Pengentasan kemiskinan menjadi tugas penting dari UU nomor 25 tahun 1999, dimana pemda mempunyai wewenang luas, dan didukung dana yang cukup dari APBD.
c.    Program penanggulangan kemiskinan harus dilakukan terpadu berdasarkan karakter penduduk dan wilayah , dengan melakukan koordinasi antar instansi yang terkait.
d.   Pembangunan dalam rangka penanggulangan kemiskinan harus mengedepankan peran masyarakat dan sektor swasta, dengan melakukan investasi yang dapat menyerap tenaga kerja dan pasar bagi penduduk miskin.
e.    Membangun paradigm baru tentang peran pemda, yaitu dari pelaksana menjadi fasilitator, memberikan instruksi menjadi melayani, mengatur menjadi memberdayakan masyarakat, bekerja memenuhi aturan menjadi bekerja untuk mencapai misi pengembangan.
f.     Dalam pemberdayaan masyarakat, peranan pemda adalah memberikan legitimasi kepada LSM dan masyarakat penerima bantuan, menjadi penengah apabila terjadi konflik, mendorong peningkatan kemampuan keluarga miskin, turut mengendalikan pembangunan fisik, dan memberikan sosialisasi gerakan terpadu pengenatasan kemiskinan.
g.    Pemda dalam rangka percepatan penanggulangan kemiskinan dapat mengambil kebijakan keluarga.
4.   Implemantasi otonomi daerah dalam hubungan fungsional eksekutif dan legislative
a.    Hubungan eksekutif (pemda) dan legislatif (DPRD) dalam era otonomi mencuat dengan munculnya ketidakharmonisan antara pemda dan DPRD.
b.    Ketidakharmonisan harus dipecahkan dengan semangat otonomi, yaitu pemberian wewenang kepada daerah untuk mengatur daerahnya dalam menjawab permasalahan rakyat, yang meliputi administrasi pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan public.
c.    Asas dalam otonomi menurut UU no. 22 tahun 1999 adalah: (1) penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, kecuali dalam bidang hankam, luar negeri, pradilan, agama, moneter, dan fiscal, (2) pelimpahan wewenang pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintahan pusat didaerah, dan (3) pembantuan yaitu penugasan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta SDM, dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan pertanggungjawaban kepada pemerintah pusat.
d.   Kepala daerah mempunyai wewenang: memimpin penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan  kebijakan yang ditetapkan DPRD, bertanggungjawab kepada DPRD, dan menyampaikan laporan atas  penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada presiden melalui mendagri, minimal satu tahun sekali melalui gubernur.
e.    DPRD dalam era otonomi  mempunyai wewenang dan tugas: memilih gubernur/ wakil gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/ wakil walikota, membentuk peraturan daerah, menetapkan anggaran pendapat belanja daerah, melaksanakan pengawasan, memberikan saran pertimbangan terhadap perjanjian internasional menyangkut kepentingan daerah, serta menampung dan menindak lanjuti aspirasi masyarakat.
f.     Kepala daerah dan DPRD dalam melakukan tugasnya dapat melakukan komunikasi intensif, baik untuk tukar-menukar informasi, dan pengembangan regulasi maupun klarifikasi suatu masalah.
g.    Prinsip kerja dalam dalam hubungan antara DPRD dan Kepala Daerah adalah: proses pembuatan kebijakan transparan, pelaksanan kerja melalui mekanisme akuntabilitas, bekerja berdasarkan susduk, yang mencakup kebijakan, prosedur dan tata kerja, menjalankan prinsip kompromi, dan menjunjung tinggi etika.
5.   Implementasi otonomi daerah dalam membangun kerja sama tim
a.    Koordinasi merupakan masalah yang serius dalam pemerintah daerah. Sering bongkar dan pasang sarana dan prasarana seperi PAM, PLN, dan Telkom menunjukkan lemahnya koordinasi selama ini .
b.    Dalam rangka otonomi, dimana pemda mempunyai wewenang mengatur selain enam bidang yang diatur pusat, maka pemda dapat mengatur koordinasi sektor riil seperti transportasi, sarana/ prasarana, pertanian, dan usha kecil serta wewenang lain yang ditentukan Undang-Undang.
c.    Lemahnya koordinasi selam otnomi daerah telah menimbulkan dampak negative, diantaranya : inefisiensi organisasi pemborosan uang, tenaga dan alat, lemahnya kepemimpinan koordinasi yang menyebabkan keputusan tertunda-tunda, tidak tepat dan terjadi kesalahan, serta tidak terjadi integrasi dan sinkronisasi pembangunan.
d.   Penyebab kurangnya koordinasi dalam era otonomi daerah di pemda anatara lain karena sesame instansi belum mempunyai visi yang sama, tidak adanya rencana pembangunan jangka panjang yang menyebabkan arah kebijakan tidak strategis, rendahnya kemauan bekerja sama, gaya kepemimpinan yang masih komando, rendanya ketrampilan, integritas, dan percaya diri.
e.    Dalam rangka meningkatkan koordinasi, maka pemerintah daerah harus menciptakan kerja sama tim.[4]

Dalam rangka percepatan implementasi otonomi daerah sebagaimana yang diamanatkan dalam TAB MPR RI Nomor IV/MPR/1999 dan Nomor IV/MPR/2000, dipandang perlu membentuk tim kerja pusat implementasi Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, sesuai dengan keputusan Presiden Nomor 157 tahun 2000.
Tim kerja pusat ini mempunyai tugas:
1)      Merumuskan dan menyusun konsep kebijaksanaan srategis pelaksanaan kedua Undang-Undang, termasuk struktur kelembagaan pemerintah daerah.
2)      Menetapkan pentahapan dan prioritas tindak lanjut pelaksanaan kedua Undang-Undang.
3)      Memantau dan memfasilitasi penyusunan peraturan pelaksanaan kedua Undang-Undang yang disiapkan oleh instansi yang terkait.
4)      Melakukan sosialisasi dan konsultasi dalam rangka pelaksanaan kedua Undang-Undang dan peraturan-peraturan pelaksanaannya.
5)      Memutuskan dan menetapkan langkah-langkah yang perku ditempuh untuk mempercepat dan memperlancar perwujudan otonomi daerah.
6)      Melaporkan hasil pelaksanaan tugas kepada Presiden secara berlaku atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.[5]


E.     Kesalahpahaman Masyarakat Terhadap Otonomi Daerah
Otonomi Daerah diharapkan dapat menjadi salah satu pilihan kebijakan nasional yang dapat mencegah kemungkinan terjadinya disintegrasi nasional. Otonomi daerah juga merupakan sarana kebijakan yang secara politik ditempuh dalam rangka memelihara keutuhan “Negara Bangsa”. Karena dengan otonominakan kembali memperkuat ikatan semangat kebangsaan serta persatuan dan kesatuan di antara segenap warga bangsa ini.
Namun, implementasi sebuah kebijakan bukanlah hal yang sederhana, karena implementasi menyangkut dimensi interpretasi, organisasi, dan dukungan sumber daya yang ada. Karena itu kemudian muncul berbagai kesalahan dalam memberikan interpretasi terhadap kebijakan otonomi daerah karena terbatasnya pemahaman umum tentang pemerintahan daerah, ataupun juga karena argumentasi-argumentasi yang diajukan lebih merupakan argumentasi politik ketimbang argumentasi keilmuan.
Beberapa salah paham yang muncul dari berbagai kelompok masyarakat terkait dengan kebijakan dan implementasi otonomi daerah sebagai berikut:
1.      Otonomi dikaitkan semata-mata dengan uang. Sudah sangat lama berkembang dalam masyarakat suatu pemahaman yang keliru terhadap otonomi daerah, yaitu untuk berotonomi daerah harus mencukupi sendiri segala kebutuhannya, terutama dalam bidang keuangan. Tidak ada yang menafikan bahwa uang memang merupakan sesuatu yang mutlak, namun  uang bukan satu-satunya alat dalam menggerakkan roda pemerintahan. Kata kunci dari otonomi daerah adalah “kewenangan”. Dengan kewenangan uang akan dapat dicari , dan dengan uang itu pula pemerintah, termasuk pemerintah daerah, harus mampu menggunakan uang dengan bijaksana, tepat guna dan berorientasi kepada kepentingan masyarakat.
2.      Daerah belum siap dan belum mampu. Munculnya pandangan itu merupakan cara berpikir yang salah. Karena sebelum otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 jo, Undang-Undang No. 32 tahun 2004 diterapkan, pemberian tugas kepada pemeribtah daerah belum diikuti dengan pelimpahan kewenangan dalam mencari uang dan subsidi dari pemerintah pusat. Begitu juga tidak ada alasan untuk tidak siap dan tidak mampu karena pemerintah daerah sudah terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam waktu yang sudah sangat lama dan berpengalaman dalam administrasi pemerintahan.
3.      Dengan otonomi daerah maka pusat akan melepaskan tanggung jawabnya untuk membantu dan membina daerah. Pendapat ini sama sekali tidak benar. Tetap menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah pusat untuk memberi dukungan dan bantuan kepada daerah, baik berupa bimbingan teknis penyelenggaraan pemerintahan kepada personil yang ada di daerah, ataupun berupa dukungan keuangan. Hal itu sama sekali tidak mengurangi makna otonomi daerah dalam kerangka negara kesatuan.
4.      Dengan otonomi maka daerah bisa melakukan apa saja. Hakikat otonomi pemberian kewenangan keadaan pemerintah daerah untuk kreatif dan inovatif dalam rangka memperkuat kesatuan dan kesatuan RI dengan berlandaskan norma kepatutan dan kewajaran dalam sebuah tata kehidupan bernegara. Daerah dapat menempuh segala bentuk kebijakan apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku secara nasional.  Di samping itu, kepentingan masyarakat merupakan patokan yang paling utama dalam mengambil kebijakan. Bukan sebaliknya pemerintah daerah mengambil langkah kebijakan dengan mengabaikan berbagai aturan dan norma yang berlaku.
5.      Otonomi daerah akan menciptakan raja-raja kecil di daerah dan memindahkan korupsi ke daerah. Pendapat seperti ini dapat dibenarkan kalau para penyelenggara pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha di daerah menempatkan diri dalam kerangka sistem politik lama yaitu korupsi, kolusi, nepotisme, dan segala bentuk penyalah-gunaan kekuasaan yang lainnya. Karenanya untuk menghindari pandangan tersebut, pilar-pilar penegakan demokrasi dan masyarakat madani (civil society) seperti Partai Politik, Media Massa, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, Kejaksaan, termasuk LSM, dan lain-lainnya pada tingkat lokal dapat memainkan perannya secara optimal.[6]

IV.             KESIMPULAN
Otonomi daerah sebagai kerangka penyelenggaraan pemerintahan mempunyai visi yang dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup utama yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya: politik, ekonomi, sosial dan budaya. Di bidang politik dipahami sebagai proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik. Selanjutnya, di bidang ekonomi mengandung makna bahwa otonomi daerah menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, di pihak lain mendorong terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembalikan kebijakan lokal kedaerahan untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi do daerahnya. Sedangkan di bidang sosial dan budaya memelihara dan mengembangkan nilai, tradisi, karya seni, karya cipta, bahasa dan karya sastra lokal yang dipandang kondusif dalam mendorong masyarakat untuk merespon positif dinamika kehidupan di sekitarnya dan kehidupan global.
Otonomi daerah yang ditetapkan di Indonesia sangat luas, nyata dan bertanggung jawab. Disebut luas karena kewenangan sisa justru berada pada pemerintah pusat. disebut nyata karena kewenangan yang diselenggarakan itu menyangkut yang diperlukan, tumbuh dan hidup, dan berkembang di daerah. Dan disebut bertanggung jawab karena kewenangan yang diserahkan itu harus diselenggarakan demi pencapaian tujuan otonomi daerah, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antar daerah.



[1] Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahanan Daerah, (Bogor: Galia Indonesia, 2007), hlm. 110.
[2] Srijanti, dkk, pendidikan Kewarganegaraan untuk mahasiswa, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009) hlm. 179-180.
[4] Srijanti, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan untuk mahasiswa, (Yogyakarta:Graha Ilmu, 2009), hlm186-191
[5] Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 8-9.
[6] A. Ubaedillah dan Abdul Rozak. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. (Jakarta: ICCE, 2007) hlm. 196-199.

0 komentar:

Posting Komentar