RSS

QAUL AL-SHAHABI DAN SYAR’U MAN QABLANA


I.                   PENDAHULUAN
Dalam lingkup hukum Islam, Al-Quran dan Hadits adalah sumber dari hukum Islam, sehingga semua ketentuan hukum yang dibuat manusia harus sejalan dan tidak boleh bertentangan. Namun demikian, ada kalanya ketentuan dalam Al-Quran dan Hadits tidak dapat diterapkan secara langsung dalam menetapkan hukum untuk menyelesaikan suatu permasalahan.
Ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa Al-Qur’an dan Hadits adalah sumber hukum Islam dimana Al-Qur’an merupakan sumber hukum utama dan tertinggi. Disamping kedua sumber hukum tersebut, ulama Ushul Fiqh menetapkan sumber-sumber hukum lain, diantaranya: ijma’, qiyas, istihsan, mashlahah, istishhab, ‘urf, syar’u man qoblana, mazhab shahabi dan dzari’ah. Sumber-sumber hukum tersebut  juga merupakan metode atau tata cara untuk memperoleh dalil-dalil yang akan digunakan untuk merumuskan suatu hukum. Adanya sumber hukum selain Al-Qur’an dan Hadits dikarenakan adanya masalah-masalah yang bersifat khusus, sedangkan ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadits bersifat umum.
Oleh karena itu makalah ini akan membahas tentang pengertian Qaul al-Shahabi dan Syar’u man Qablana, dan pendapat para ulama mengenai Qaul al-Shahabi dan Syar’u man Qablana.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian Qaul Al-Shahabi?
B.     Apa pengertian Syar’u Man Qablana?
C.     Bagaimana pendapat ulama tentang Qaul Al-Shahabi?
D.    Bagaimana pendapat ulama tentang Syar’u Man Qablana?

III.             PEMBAHASAN
A.    Pengertian Qaul Al-Shahabi
Secara bahasa qaul artinya perkataan, ucapan, sabda. Sedangkan shahabi diartikan sahabat nabi, yaitu orang mukmin yang pernah bertemu langsung dengan nabi serta bergaul lama dengan beliau.[1]
Menurut pandangan Imam Syafi’i, qaul shahabi adalah fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat Nabi Muhammad SAW menyangkut hukum masalah-masalah yang tidak diatur di dalam nash, baik Al-Qur’an maupun Sunnah.[2]
Pengertian lain dari qaul shahabi adalah pendapat para sahabat Rasulullah SAW, yaitu pendapat para sahabat atas suatu permasalahan yang dinukil para ulama baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Dimana ayat dan hadits tidak menjelaskan hukum atas permasalahan yang dihadapi oleh para sahabat tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat menurut ulama ushul fiqh adalah seseorang yang bertemu dengan Rasulullah SAW dan beriman kepadanya serta hidup bersama beliau dalam kurun waktu yang panjang.[3]
Jadi, qaul al-shahabi merupakan pendapat hukum yang dikemukakan oleh seseorang atau beberapa orang sahabat nabi, tentang suatu hukum syara’ yang ketentuannya tidak terdapat pada nash.
Pada dasarnya sahabat sama dengan umat Islam lainnya, tetapi disisi lain mereka mempunyai kelebihan tersendiri sehubungan dengan kebersamaannya dengan Rasulullah SAW. Misalnya ada sahabat yang menonjol dalam hal perbendaharaan hadits, ada juga sahabat yang terkenal sebagai mufti yang alim dan ahli ber-istinbath, ada juga yang dikenal sebagai panglima perang, selain itu juga ada yang menonjol sebagai tokoh pemimpin masyarakat. Dalam semua hal itu mereka sangat mengenal bahasa Al-Quran. Mereka banyak mengetahui kasus, peristiwa atau kondisi sosial yang melatar belakangi turunnya ayat-ayat tertentu. Mereka pun menyaksikan tindakan serta mendengar dan melaksanakan secara langsung titah atau pengarahan Rasulullah SAW dalam berbagai kaitannya. Hal ini membuat mereka lebih mampu memahami kandungan makna Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu, berkat pergaulannya dengan Nabi SAW, kualitas akhlak mereka sangat tinggi sehingga para ulama sepakat mengakui bahwa pada dasarnya mereka semua bersifat adil.[4]
Perkataan sahabat yang tidak mendapat tantangan dari sahabat yang lain menjadi hujjah bagi orang Islam. Sebab persesuaian mereka dalam suatu masalah pada masa mereka hidup masih dekat dengan masa hidup Rasulullah SAW serta pengetahuan mereka yang mendalam mengenai rahasia-rahasia syari’at itu adalah menjadi bukti bahwa ucapan mereka yang tidak mendapat bantahan itu berdasarkan kepada dalil yang qath’i dari Rasulullah SAW. Misalnya keputusan Abu Bakar r.a. perihal bagian beberapa orang nenek yang mewarisi bersama-sama ialah seperenam harta peninggalan yang kemudian dibagi rata antar mereka. Tidak ada sahabat yang membantah keputusan Abu Bakar r.a. tersebut. Bahkan dalam masalah yang sama Umar r.a. pun memutuskan demikian. Oleh karena itu, hukum yang ditetapkan oleh sahabat Abu Bakar r.a. tersebut merupakan hukum yang wajib diikuti oleh kaum muslimin karena tidak mendapat perlawanan dari sahabat, bahkan tidak ada perselisihan di antara kaum muslimin dalam masalah itu.[5]

B.     Pengertian Syar’u Man Qablana
Syar’u man qablana yaitu syariat orang-orang sebelum kita. Yang dimaksud yaitu syariat hukum dan ajaran-ajaran yang berlaku pada para nabi sebelum nabi Muhammad diutus menjadi rasul, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Dawud, Nabi Musa, dll.
Sebagaimana diyakini, syariat Nabi Muhammad merupakan syariat terakhir yang diturunkan Allah kepada manusia. Di dalam Alqur’an pun juga banyak terdapat kisah para nabi terdahulu, serta hukum-hukum syara’ yang berlaku pada mereka dan umatnya.[6]
1.      Pembagian Syar’u Man Qablana
1.1  Hukum Syara’ yang tetap berlaku sampai sekarang berdasarkan pada nash Al-Qur’an, seperti pada surat al-Baqarah 183
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? .
183. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

1.2  Hukum syara’ yang berlaku hanya untuk umat dahulu saja, seperti yang sudah di nash oleh Al-Quran pada surat Al-An’am 146.
n?tãur šúïÏ%©!$# (#rߊ$yd $oYøB§ym ¨@à2 ÏŒ 9àÿàß ( šÆÏBur ̍s)t7ø9$# ÉOoYtóø9$#ur $oYøB§ym öNÎgøn=tæ !$yJßgtBqßsä© žwÎ) $tB ôMn=yJym !$yJèdâqßgàß Írr& !$tƒ#uqysø9$# ÷rr& $tB xÝn=tG÷z$# 5OôàyèÎ/ 4 y7Ï9ºsŒ Oßg»oY÷ƒzy_ öNÍkÈŽøót7Î/ ( $¯RÎ)ur tbqè%Ï»|Ás9 .
146. dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan Sesungguhnya Kami adalah Maha benar.
                                                                                 
2.      Hukum syara’ yang disebutkan oleh nash Al-Quran maupun As-Sunnah, seperti firman Allah dalam surat al-Maidah 45.
$oYö;tFx.ur öNÍköŽn=tã !$pkŽÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/ šú÷üyèø9$#ur Èû÷üyèø9$$Î/ y#RF{$#ur É#RF{$$Î/ šcèŒW{$#ur ÈbèŒW{$$Î/ £`Åb¡9$#ur Çd`Åb¡9$$Î/ yyrãàfø9$#ur ÒÉ$|ÁÏ% 4 `yJsù šX£|Ás? ¾ÏmÎ/ uqßgsù ×ou$¤ÿŸ2 ¼ã&©! 4 `tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$# . 
45. dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada hishasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak hishas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.

Apabila Al-Qur’an dan Sunnah mengkisahkan suatu hukum dan ada dalil syar’i yang menunjukkan penghapusan hukum tersebut, dan  juga tidak ada perbedaan pendapat bahwa hukum itu bukanlah syari’at bagi kita berdasarkan dalil yang menghapuskannya dari kita.[7]

C.    Pendapat Ulama Tentang Qaul Al – Shahabi
Adapun yang masih diperselisihkan oleh para ulama ialah perkataan sahabat  yang semata-mata berdasarkan hasil ijtihad mereka sendiri dan para sahabat tidak dalam satu pendirian.
Imam Abu Hanifah beserta rekan-rekannya berpendapat bahwa perkataan sahabat itu adalah hujjah. Kata Imam Abu Hanifah: “Apabila aku tidak mendapatkan ketentuan dari Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah SAW maka aku mengambil pendapat dari sahabat beliau yang kukehendaki dan meninggalkan pendapat yang tidak ku kehendaki. Aku tidak mau keluar dari pendapat sahabat-sahabat tersebut untuk kemudian memilih pendapat selain sahabat.” Perkataan Imam Abu Hanifah ini dapat dipahami bahwa beliau tidak menetapkan perkataan sahabat tertentu itu adalah sebagai hujjah. Beliau membolehkan mengambil pendapat salah seorang sahabat yang dikehendaki akan tetapi tidak boleh melawan pendapat keseluruhan sahabat. Oleh karena itu, mengambil qiyas tidak diperkenankan selama masih ada fatwa dari sahabat, biarpun yang diambil hanya pendapat salah seorang sahabat saja yang dikehendaki. Jika hukum suatu peristiwa terdapat dua macam pendapat, maka yang demikian itu adalah merupakan ijma’ bahwa tidak ada pendapat yang ketiga dan bila ada tiga macam pendapat, maka yang demikian itu adalah merupakan ijma’ bahwa tidak ada pendapat yang keempat. Jadi, keluar dari pendapat mereka keseluruhan berarti keluar dari ijma’ para sahabat.
Sedangkan dalam membahas masalah ini Al-Syafi’i membagi fatwa-fatwa sahabat kepada tiga kelompok :
a.         Pendapat yang memperoleh kesepakatan (ijma) dikalangan mereka. Ini jelas mengikat dan harus dijadikan hujjah.
b.        Pendapat yang beragam dan tidak mencapai kesepakatan. Menurut al-Syafi’i harus dilakukan tarjih (penguatan) dengan mempedomani dalil-dalil. Yang harus diambil ialah pendapat yang sesuai dengan Kitab, Sunnah, ijma’, atau didukung oleh qiyas yang lebih shahih.
c.         Pendapat yang dikeluarkan oleh seorang sahabat saja tanpa dukungan ataupun bantahan dari sahabat lainnya.
Dengan memandang jenis masalahnya, qaul shahabi seperti ini sebenarnya masih dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu yang tidak merupakan lapangan ijtihad, dan yang termasuk lapangan ijtihad.
Mengenai ini, ditemukan beberapa pernyataan Al-Syafi’i yang tidak sama sehingga para ulama ushul fiqh masih berbeda pendapat tentang pendirian al-Syafi’i yang sebenarnya mengenai kehujjahan qaul shahabi, khususnya yang menyangkut masalah-masalah ijtihad.
Al-Ghazali mengutip bahwa pada kitab Ikhtilaf al-Hadits al-Syafi’i mengemukakan adanya riwayat bahwa pada suatu malam Ali melakukan salat enam raka’at dengan enam kali sujud pada tiap-tiap raka’atnya. Kemudian al-Syafi’i berkata,” Kalau saja riwayat tentang perbuatan ‘Ali itu shahih, niscaya saya akan mengamalkannya, sebab masalahnya tidak termasuk lapangan qiyas. Jadi, tentu ia melakukan hal itu berdasarkan tauqif (penetapan) dari Nabi SAW.”
Dengan ini, al-Syafi’i jelas menyatakan pendiriannya bahwa dalam masalah-masalah yang tidak termasuk lapangan qiyas atau ijtihad, qaul shahabi dianggap sebagai hujjah. Adapun mengenai masalah yang termasuk lapangan ijtihad, telah disepakati bahwa pendapat seorang sahabat tidak mengikat bagi sahabat lainnya. Mereka yang mampu berijtihad bebas mengeluarkan pendapatnya masing-masing dan yang tidak mujtahid bebas pula mengikuti salah satu dari pendapat yang ada.[8]
D.    Pendapat Ulama Tentang Syar’u Man Qablana
Jumhur ulama Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah dan ulama Syafi’iyah berkata bahwa hukum itu adalah syariat kita dan kita wajib mengikutinya dan menerapkannya, selama ia telah dikisahkan kepada kita dan didalam syariat kita tidak ada sesuatu yang menghapuskannya. Karena hukum itu merupakan bagian dari hukum-hukum Ilahi yang telah disyariatkan oleh Allah kepada kita melalui nabi Muhammad.
Sedangkan sebagian ulama berkata bahwa Syar’u Man Qablana bukanlah syariat bagi kita, karena syariat kita telah menghapuskan berbagai syariat yang terdahulu, kecuali apabila ada sesuatu yang menetapkannya dalam syariat kita.

IV.              KESIMPULAN
Qaul al-Shahabi merupakan pendapat hukum yang dikemukakan oleh seseorang atau beberapa orang sahabat nabi, tentang suatu hukum syara’ yang ketentuannya tidak terdapat pada nash.
Syar’u man Qablana yaitu syariat hukum dan ajaran-ajaran yang berlaku pada para nabi sebelum nabi Muhammad diutus menjadi rasul, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Dawud, Nabi Musa, dll.
Pendapat Al-Syafi’i tentang Qaul al-Shahabi bahwa ia menyatakan pendiriannya bahwa dalam masalah-masalah yang tidak termasuk lapangan qiyas atau ijtihad, qaul shahabi dianggap sebagai hujjah. Adapun mengenai masalah yang termasuk lapangan ijtihad, telah disepakati bahwa pendapat seorang sahabat tidak mengikat bagi sahabat lainnya. Mereka yang mampu berijtihad bebas mengeluarkan pendapatnya masing-masing dan yang tidak mujtahid bebas pula mengikuti salah satu dari pendapat yang ada.
Sebagian ulama berkata bahwa Syar’u Man Qablana bukanlah syariat bagi kita, karena syariat kita telah menghapuskan berbagai syariat yang terdahulu, kecuali apabila ada sesuatu yang menetapkannya dalam syariat kita.




[1].Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta : Amzah, 2011), hlm.167.
[2].Lahmudin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam dalam Madzhab Syafi’i, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 135.
[4].Lahmudin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam dalam Madzhab Syafi’i, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 135- 136.
[5].Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, (Bandung:  PT Almaarif,1983), hlm. 117.
[6].Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm 230.                                                       
[7].Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1994), hlm. 131- 132
[8].Lahmudin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam dalam Madzhab Syafi’i, (Bandung:  PT Remaja Rosdakarya, 2001),  hlm. 135

0 komentar:

Posting Komentar